وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ
لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ
لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ۞ [القرآن الكريم سورة التوبة : ١٢٢]
Pak Mohammad Miqdad yang biasa
dipanggil Pak Miq oleh teman-teman MTs saya, memiliki catatan tersendiri dalam bicycle
race pribadi saya. Pak Miq adalah guru fisika
terlama yang mendidik saya. Ketika berkelindan dengan fisika, Pak Miq bagi saya
itu seperti Jeremy Burgess bagi Valentino Rossi (Vale) maupun Alexander Chapman Ferguson
(Sir Alex) bagi Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro (CR).
Saya mulai mengenal Pak Miq sejak
kelas VII ketika bersekolah di MTs Miftahul Falah. Saat itu beliau mendapat
jatah untuk mengajar di kelas IX. Di MTs tempat saya sekolah itu, kelas putra
dan putri dipisah sampai sekarang meski gedung sekolahnya menjadi satu —sebenarnya
terpecah menjadi dua karena tingkat Raudlatul Athfal (RA) bertempat di lokasi
yang terpisah.
Untuk kelas VIII, saat itu diajar
oleh Ibu Ratna Indiarti Mahardini (Bu Ratna). Bu Ratna adalah guru favorit anak
laki karena paras beliau cantik dan masih lajang. Sama dengan Pak Miq yang
menjadi guru favorit anak puan karena paras tampan dan masih lajang.
Kesamaan lainnya ialah mereka sama-sama
berlatar belakang fisika dan harus rela merangkap jabatan menjadi guru biologi.
Dua pekerjaan dengan satu slip gaji kalau memakai istilah Fenty Effendy.
Beberapa bulan setelah memulai
mengajar di Miftahul Falah, Pak Miq melepas masa lajangnya. Beliau menikahi
perempuan yang sudah menjalin ikatan persahabatan cinta yang tulus dengannya
sejak kuliah di UNNES.
Pak Miq secara resmi mulai mengajar
saya di kelas IX. Beliau mengajar IPA waktu itu, jadi fisika dan biologi diajarkan
sekaligus pada saya dan teman-teman. Pak Miq bisa
mengajar fisika dengan apik walakin ketika mengajar biologi lebih baik
ditinggal mendengarkan lagunya Linkin Park atau Britney Jean Spears saja, selera musik paling digilai saat itu.
Prestasi paling saya banggakan saat
diajar Pak Miq adalah catatan kurang ajar mengesankan. Tak cuma sekali, berkali-kali
saya berhasil membuat jengkel dengan ulah saya dan berkali-kali pula beliau memarahi
saya. Bahkan pertama kali saya ‘menyapa’ beliau sudah membuat sebel.
Waktu itu beliau sedang mengawas
ruangan ujian Fara’idh yang biasanya
menjadi ruang kelas IX B. Saat beliau mendapati rumus tertulis di papan tulis
dan tidak ditemukan penghapus saya langsung bilang, “Dihapus pakai peci saja pak,
lebih bersih.” Sontak beliau langsung ya
begitulah.
Catatan menawan ini terus berlanjut
tanpa putus termasuk tahun terakhir saya di MA TBS, saat kami saling bungkam di
tengah tatap empat mata. Muhammad Danial Muchtar, musuh rusuh sebangku yang
saya titipi lagu 2NE1 di ponselnya, masih suka sekali
mengembalikan ingatan saya pada peristiwa ini.
Untungnya, meski tensi darah sering
saya pancing agar meninggi, Pak Miq belum memiliki rekam jejak memukul saya — dan
meski cuma segini, kalau berkelahi saya
masih punya rasa percaya diri untuk melawan Pak Miq, perbandingan ukuran badan
lumayan.
Untung pula tertahannya tensi darah untuk
tak berkelahi tak serta merta membuat beliau memendam amarah. Ini susah, coba
saja dipraktikkan sendiri ke lingkungan dan lihat tanggapannya kemudian.
Selain Pak Miq, guru IPA di MTs
adalah Pak Mochammad Busyro dan Pak Ahmad Yasin. Beda dengan di kelas IX yang
guru IPA-nya hanya satu, di kelas VII dan VIII ada dua guru IPA. Pak Busyro
mengajar IPA fisika (sesuai sebutan saya saat itu) dan Pak Yasin mengajar IPA biologi.
Debut saya dan Pak Yasin berlangsung
buruk karena diiringi 3 kali memecahkan preparat sekolah. Pada masa inilah saya
memiliki rangsangan terhadap biologi yang lebih besar ketimbang fisika. Faktor
Pak Yasin memegang peran kuat. Saya malah masih lumayan bisa menggambar
peta-peta dalam biologi, satu kemampuan yang sirna sesudah tragedi 23 Maret
2007 menimpa saya.
Kelak Pak Yasin menjadi salah satu orang
yang menghantam langsung saya ketika nyaris dikeluarkan dari sekolah November
2008 silam. Kedua setelah Bu Cilistiawati dan ketiga sebelum Pak Noor Sa’id. Dengan
latar belakang sebagai guru IPA biologi dan keadaan saya menjadi pelajar IPA
fisika, obrolan kami nyambung sekali
kalau membicarakan Nahdlatul Ulama (NU). Ini ciyus.
Pak Busyro memiliki debut yang cukup
bagus. Segera dalam pertemuan pertama, beliau mengenali saya sebagai anaknya
bapak saya. Pak Busyro adalah kawan bapak saya. Tak hanya itu, istri Pak Busyro
juga merupakan teman baik ibu saya. Wajar kalau beliau segera memahami kalau
saya adalah tetangga Mbok Nah, misanan
bapak saya dari keluarga Mbah Modirono Dimin yang pernah bekerja pada beliau.
Pak Busyro terkenal dengan ungkapan
yang sering beliau ucapkan, “Fisika itu sulit, sedetik tidak memperhatikan
tidak bisa.” Sampai saat ini saya meyakini fisika itu sulit dan tugas fisikawan
serta guru fisika adalah membuat fisika menjadi mudah.
Dua orang tersebut sama-sama bisa
mengajarkan materi dengan baik dan mendidik moral dengan mengagumkan. Selain
itu, belakangan anak Pak Yasin dan Pak Busyro menjadi teman baik saya. Anak Pak
Yasin asik kalau diajak membahas sepak bola sementara anak Pak Busyro pada
balapan sepeda motor.
Satu perkara menjengkelkan saat itu adalah
gara-gara ada dua guru IPA, kami—siswa dan siswi imut-imut menggemaskan—harus
mengerjakan dua lembar soal ketika sedang ujian, IPA fisika dan IPA biologi.
Jadwal ujian IPA cuma satu, artinya agenda saya untuk main PS bersama Achmad
Mufarrichin, Fahrul Anam, atau Faiz Mudhiul Adhan sebagai pengisi jeda
istirahat saat ujian terganggu.
Bu Ratna, yang sudah menjadi guru di
MTs NU Miftahul Falah sejak saya kelas VII, kemudian cuti karena sedang hamil.
Sampai saya lulus MTs, tak sekalipun merasakan sentuhan guru paling cantik di
negeriku Indonesia yang piket setiap Selasa ini.
Nyaris saya tak menyaksikan unjuk
kerja Bu Ratna dalam menjelaskan IPA andai beliau tak mengawas ujian di ruangan
saya. Di tengah ujian yang biasanya menjadi ruang kelas VII B saat itu, sempat
ada siswa yang bertanya tentang soal yang kurang jelas.
Pertanyaan yang terpaksa ditanggapi
Bu Ratna meski beliau tahu itu cuma modus godain
doang. Tanggapan serius Bu Ratna menunjukkan kalau beliau masih tampak
gugup dalam menjelaskan materi.
Sejak masa MTs sampai saat ini, guru puan
turut berperan memberikan gairah tak biasa pada saya. Rangsangan saya memang
biasa bertambah, maklum naluri laki. Meski tak cantik-cantik amat, tetap saja
asik. Mungkin saya memang lebih cocok dengan guru puan daripada laki.
Di kelas VII, ketika matematika diajar
oleh Bu Indah, saya mengalami rekam jejak terbaik dengan matematika sepanjang
sejarah, mendapat nilai 7 di rapor. Sebuah catatan yang langsung sirna setelah
matematika diajar oleh Pak Masrur, yang menobatkan saya sebagai pelanggan setia ujian
ulang.
Ketika di kelas IX ketika IPS diajar
oleh Bu Cilis, ‘ibu tiri’ saya yang baru pindah rumah sewilayah dengan Mochamad
Maulana dan Herlina Fitriani itu, saya mulai kembali tertarik dengan ilmu
sosial, khususnya sejarah dan ekonomi. Bu Cilis kalau bercerita pengalaman
sepanjang orde militeristik (zamannya Pak Harto), selalu enak. Apresiasi dan kritikan
seimbang.
Satu-satunya guru IPA saya yang berjenis
kelamin perempuan adalah Bu Khosyatun. Beliau mengajar IPA ketika saya kelas 5
dan 6 di MI Thoriqotus Sa’diyyah. Bu Khosyatun—seperti banyak guru di MI saat
itu—tak memiliki latar belakang formal dalam bidang yang diajarkannya.
Bagusnya beliau bisa mengajarkan biologi
dengan baik meski untuk fisika tampak kikuk. Malah beliau yang religius ini tak
jarang membantah kesepakatan fisikawan yang tampak tak selaras dengan tafsir
agama yang dianut.
Saya senang mengenang masa-masa
diajar Bu Khosyatun. Antara lain karena beliau
mengijinkan saya tak ikut jam tambahan pelajaran IPA menjelang ujian—satu-satunya
yang diijinkan waktu itu.
Saya tak ikut jam tambahan karena
pada siang hari teman saya seperti Fachrul Harri Wibowo, Dwi Widodo, dan Valen
Diki Andreas rajin mengajak saya bermain PS. Tentu bermain PS lebih penting daripada
belajar IPA di siang hari.
Debut belajar IPA di sekolah terjadi
ketika kelas 3 MI. Guru yang mengajarkannya adalah Pak Muhdi. Pak Muhdi biasa
menjelaskan dengan rapi dan rinci mengenai pelajaran yang diampunya. Pak Muhdi
juga yang berperan penting dalam mengasah daya endus terhadap setiap kata
maupun aksara. Beliau mengajar IPA ketika saya kelas 3 dan 4 MI, dan juga
Bahasa Indonesia.
Saat diajar Pak Muhdi, saya belum
tahu bedanya fisika dan biologi, malah ketidaktahuan ini terus dipelihara sampai
kelas 6 MI. Mbak Ika Kusumawati, pelajar Pendidikan Kimia dari UNNES yang
sedang KKN di tempat saya-lah yang menyadarkan saya.
Mbak Ika juga yang kemudian
merangsang saya pada fisika via astronomi
melebihi rangsangan saya pada dirinya yang cantik dan langsing. Tentu mbak Ika
lebih langsing dibanding ‘mertua’ saya, mbak Anastasia Juanita. Dan lebih cantik
daripada Mbak Yuni Afniyanti, yang bersama Mbak Ika sempat menyapa saya di
tengah keramaian lingkungan makam Sunan Muria hari Minggu terakhir mereka di
Colo. Sialan, saya jadi kelihatan ya
begitulah.
Ketika saya di MA TBS, mulai ada
pembedaan tegas antara mata pelajaran fisika, biologi, juga kimia. Saya harus
bertemu lagi dengan Pak Miq yang sejak saya kelas X memilih menetap di MA TBS
dan meninggalkan MTs Miftahul Falah. Sebelumya, Pak Miq sempat ‘mendua’ dengan
mengajar di dua sekolah.
Orang yang menarik Pak Miq ke MA TBS
adalah Pak Suwantho, guru beliau mulai MI dan juga guru saya mulai MA. Pak Miq
memutuskan meninggalkan MTs MifFa Pahing Jaya (julukan MTs saya) lantaran saat
mengajukan sertifikasi bersamaan, hasil yang keluar lebih dulu ialah
sertifikasi untuk MA. Bu Sa’idah Thoyyibah juga mengambil keputusan sama
seperti Pak Miq.
Di kelas X, Pak Miq mengajar fisika dan
biologi. Untuk kimia diajarkan oleh Pak Iskandar Dinata. Sejak saat itu, tak
hanya matematika yang kacau melainkan juga rangsangan saya terhadap biologi dan
kimia cukup bermasalah. Kimia bukanlah materi yang asik dimainkan dan entah
mengapa harus ada mata pelajaran kimia di planet bumi ini. Mungkin terpaksa
diadakan mata pelajaran kimia untuk mengurangi jumlah pengangguran, biar ada gawean.
Hanya fisika, ilmu alam yang malar
menarik meski di rapor dan ijazah nilainya sering paling rendah (berotasi di kisaran
angka 6 koma, seringnya 6,75). Setidaknya ada kemauan ke arah sana. Biologi sempat
diselamatkan oleh Pak Arif Rachman dan matematika bisa dikontrol dengan apik
oleh Pak Ulil Farich. Kecocokan memang diperlukan dalam belajar.
Andai di kelas XI semester II—atau
semester I?—guru fisika tak dipegang oleh Pak Iskandar, Pak Miq menjadi guru fisika
satu-satunya selama saya di MA. Hanya saja akibat perubahan jadwal, selama satu
dari enam semester di MA fisika diajarkan oleh Pak Iskandar yang notabene guru kimia.
Pak Iskandar bagus sekali kalau mengajarkan
kimia. Dengan gairah lemah pada kimia, beliau bisa membuat saya lumayan memahami
materi yang diajarkan. Hanya saja kalau fisika, sulit sekali rasanya. Passion terasa kurang gereget.
Selepas menjalani masa-masa sekolah
dasar dan menengah, saya melanjutkan bicycle
race ke sekolah tinggi program studi (prodi) pendidikan fisika. Pada masa
sekolah menengah dulu, para the
battle-mate saya kerap bilang bahwa akan menjejak Pak Miq. Sebenarnya
mereka cuma mau mengejek ukuran badan saya saja yang 46 kg/156 cm.
Lagipula kalau mau ditanggapi serius,
hal itu tak sepenuhnya benar. Pak Miq merupakan pelajar prodi fisika, bukan pendidikan
fisika. Namun kami sama-sama belajar formal di perguruan tinggi alumni IKIP,
Pak Miq di UNNES dan saya di UPI.
Belakangan, Pak Miq nyaris menjadi
pelajar sekolah pasca sarjana di UPI. Sayang urung dilakukan. Padahal kalau
benar-benar terjadi, lumayan buat reuni rusuh-rusuhan. Bukan hanya selera,
penampilan Pak Miq juga mirip Lionel Andrés Messi, termasuk wajah.
Don’t
Stop
Me
Now, karya agung dari grup genius Queen, menjadi langgam penampung rekam
jejak saya dalam berseteru dengan ilmu alam. Selalu ada cara menyimpan kenangan
dengan daya ingat yang lemah. Brian May memiliki pengalaman yang bersinggungan dengan pengalaman
pribadi saya. Setitik lara menguatkan, setitik luka melembutkan.
B.Sb.Wg.040250.38.051116.02:56