فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ ۞ [القرآن الكريم سورة آل عمران : ١٥٩]
Mbak Nong [Sumber: Netralitas.com] |
Semua orang
tentu memiliki panutan. Mulai orangtuanya, keluarga, tetangga, sahabat, guru,
teman, hingga lainnya. Tak jarang juga panutan tersebut adalah sosok-sosok yang
banyak dikenal sebagai public figure.
Panutan,
baik seorangan atau sekerumunan, memberi inspirasi mengenai langkah yang
dilakoni dalam menjalani bicycle race.
Panutan memiliki peran psikis, yang dapat memengaruhi pandangan (cara, sudut,
dan jarak) terhadap sesuatu bahkan bisa memengaruhi seseorang sepenuhnya.
Panutan
boleh siapa saja. Sah-sah saja preman yang nama sapaan karibnya tak elok
menjadi nama sebuah gang menjadi panutan. Walakin nama dari sosok itulah yang
selalu dilantan dengan penuh kasih sayang di hati mereka yang menggandrungi, mereka
yang menjadikannya sebagai panutan. Itulah nama yang mudah diingat karena
inspirasinya, bukan karena muka garangnya.
Ada banyak
sosok yang menjadi panutan saya. Entah sosok tersebut dipandang sebagai sosok
besar karena banyak orang juga mengaguminya atau dipandang sebagai sosok kecil
karena sedikit orang yang mengenalnya.
Siapapun
dia, sepanjang dia menampilkan kesungguhan dalam melakoni life, live, love, pasti ada orang yang menjadikannya sebagai
panutan, meski diam-diam. Salah satu sosok yang menjadi panutan tersebut adalah
Nong.
Manunggaling
susah-bungah pernah
dialami Nong akhir Januari 2004. Saat itu Umi—sapannya pada sang ibu—mengakhiri kesakitan badan yang didera sewindu lamanya. Bagi seorang anak yang
memiliki ikatan interaksi intim dengan ibunya, hal ini tentulah memberikan rasa
bahagia.
Sayangnya
akhir kesakitan badan tersebut adalah perlintasan perpindahan alam. Peristiwa
yang menjadi keniscayaan bagi siapapun yang dilahirkan di Planet Bumi.
Peristiwa biasa saja lantaran semua juga mengalaminya namun tetap saja
menyuntikkan duka mendalam pada sukma terdalam.
Nong sangat
mencintai Umi. Rasa cinta yang sempat membikin dirinya mengungkapkan
‘protes’-nya pada Pelantan Semesta. Ketika Nong menyaksikan Umi merasakan
kesakitan badan dalam waktu lama, dia merasa Pelantan Semesta tak bersikap
adil.
Nong
merasakan sekaligus menyaksikan sendiri bagaimana kasih sayang Umi
ditumpahruahkan tanpa pilih kasih. Tapi Pelantan Semesta memberinya cobaan yang
tampak tanpa belas kasih.
Walau
mendapatkan cobaan dengan kesakitan badan terus menerus, iman Umi tak
serta-merta tergerus. Umi malah berpesan pada Nong agar selalu menerima apapun
takdir-Nya walau pahit dirasa. “Allah sayang sama Umi, Nong. Kamu jangan begitu
sama Allah. Ambil hikmahnya aja,” ungkap Umi pada Nong yang selalu diingat.
Kecintaan pada Umi-lah yang membuat Nong selalu kuat dan berserah pada Ilah. Kecintaan yang membikinnya woles dalam menjalani keseharian, tak ngoyo, tak ambisius, maupun tak menggebu-gebu dalam mewujudkan angan menjadi kenyataan. Walau Nong masih belum bisa memastikan rahasia di balik cobaan berupa penderitaan yang didera Umi-nya.
Kecintaan pada Umi-lah yang membuat Nong selalu kuat dan berserah pada Ilah. Kecintaan yang membikinnya woles dalam menjalani keseharian, tak ngoyo, tak ambisius, maupun tak menggebu-gebu dalam mewujudkan angan menjadi kenyataan. Walau Nong masih belum bisa memastikan rahasia di balik cobaan berupa penderitaan yang didera Umi-nya.
Misteri yang
terus menggelayuti sukma membuatnya tak lelah memanjatkan doa pada Rabbi untuk Umi.
Nong memang tak sanggup memastikan rahasia di balik cobaan Umi-nya. Hanya saja
semenjak Umi-nya berpindah alam, Nong menyaksikan perubahan drastis pada Abah—sapannya pada sang bapak.
Semula
Abah-nya adalah sosok yang sangat keras. Keras yang dimaksud di sini bukan
kasar maupun kejam. Hanya saja Abah-nya kurang lemah lembut saja. Sosok yang
sangat keras tersebut berkelindan dengan pandangan Abah-nya tentang peran istri
dalam berkeluarga dan berumahtangga.
Bagi
Abah-nya, istri harus melantan keseharian di rumah. Selain sangat keras,
Abah-nya juga tampak berjarak dengan anak-anak. Hal ini membikin semua anaknya
sungkan bahkan takut pada Abah. Kosok balinya, mereka sangat erat dengan Umi.
Peristiwa
yang menjadi jalan pindah alam sang istri menjadi titik balik yang benar-benar
membalik kepribadian Abah-nya hingga saat itu. Puncaknya, sesudah sang istri
hidup di dimensi alam berbeda, Abah-nya berubah menjadi sosok yang lemah lembut
dan dekat pada anak-anaknya.
Abah juga
tak lagi ‘menang-menang’-an dalam berpendirian. Malah terus mengapresiasi
segala kesamaan dan menghormati segala ketaksamaan pendirian di keluarganya.
Abah terus mendorong seluruh anaknya agar tak ragu mengambil keputusan.
Keputusan
untuk menjalani keyakinan hasil pertarungan dengan keseharian dengan penuh
tanggung jawab. Hal tersebut menjadi penghibur Nong ketika dia penasaran dengan
misteri di balik cobaan penderitaan yang didera Umi.
Nama
lengkapnya Nong Darol Mahmada. Saya menyapanya Mbak Nong. Tak peduli orang lain
mau menyapanya dengan sapaan yang terdengar lebih santun dan lebih menghormati
hierarki. Tak peduli juga rentang usia kami sangat jauh, hampir dua dekade.
Saya
menyadari terbilang kurang ajar dalam menyapa liyan. Tidak hanya sebatas
tanpa penyantuman gelar yang disematkan, kadang juga tak menyapa sesuai sapaan
‘resmi’ yang disandangkan. Melalui sapaan kurang ajar, saya merasa lebih bisa
mencapainya secara apa adanya.
Cara yang
ditiru dari kisah pewayangan ketika Burisrawa menyapa Dewi Subadra. Burisrawa
yang notabene raksasa tak memandang dewi dari Mandura berbeda dengannya meski
dia tahu Putri Banoncinawi itu bersemayam di lingkaran yang jauh di atas
tingkatannya. Peniruan adalah bentuk pujian abadi paling luhur.
Mbak Nong
yang lahir di Labuan, Banten, 23 Maret 1975 tentu diharapkan Umi dan Abah-nya
menjadi seseorang yang bermakna buat semua. Milad-nya selisih tiga hari
dengan saya dan bersamaan dengan satu peristiwa penting bagi saya
beberapa tahun silam.
Immortal
memory yang terjadi pada 23 Maret 2007
itulah yang menjadi cikal-bakal penggubahan manunggaling susah-bungah.
Saat itu saya merasakan kesedihan mendalam yang belakangan sangat saya syukuri
dan rasakan menjadi sebuah pengalaman membahagiakan.
Mbak Nong
dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Ayahnya memiliki pesantren
serta sekolah, namun sejak lulus SD dia dititipkan di Pesantren Cipasung,
Tasikmalaya. Di pesantren asuhan ajeungan Ilyas Ruhiyat Mbak Nong ditempa
sepanjang masa remaja, dari SMP hingga SMA.
Mbak Nong
merasa beruntung berkesempatan menempa diri (nyantri) di sana dengan
menjalani keseharian dekat dengan sang ajeungan. Menyaksikan sendiri
keseharian Pak Ilyas—caranya menyapa sang guru—yang bersahabat dan
menyenangkan disertai kepribadian tegas dan konsisten.
Sepanjang
enam tahun di Cipasung, Mbak Nong tinggal di rumah Pak Ilyas, di Asrama Esa. Hal
ini memberinya kesempatan bermakna. Kesempatan menyaksikan dan merasakan
keseharian Pak Ilyas dalam berkeluarga dan berumah tangga hingga sebagai guru
dan sosok panutan masyarakat.
Seperti
tradisi pesantren nahdliyin, pengajian asuhan Pak Ilyas hanya diikuti
oleh santri senior. Santri junior seperti Mbak Nong belum berkesempatan
mengikuti pengajian yang diasuh langsung Pak Ilyas. Walau demikian, tinggal di
Asrama Esa membuat Mbak Nong mendapatkan pengajian yang lebih ketimbang ikut
serta mengaji seperti santri lainnya yang lebih senior.
Hubungan
mereka bahkan tampak seperti ayah dan anak. Pak Ilyas penuh perhatian dengan
mengingatkan Mbak Nong secara langsung ketika bersikap tak sepantasnya.
Hubungannya dengan Ibu Dedeh Fuadah istri sang ajeungan pun seperti ibu
sendiri. Ibu Dedeh menjadi guru mengaji pertamanya di pesantren ini.
Mbak Nong
turut merasakan cinta Pak Ilyas pada istrinya serta kasih sayang Pak Ilyas dan
Ibu Dedeh pada seluruh buah hati keduanya. Bagi Mbak Nong, Pak Ilyas adalah
sosok ayah teladan yang tak mengekang anak-anaknya untuk menjalani keseharian
sesuai pilihan mereka masing-masing.
Pak Ilyas
yang mengasuh pesantren besar ini tak mengekang tempat belajar anak dengan
hanya mengijinkan nyantri atau setidaknya menjadi pelajar IAIN dan perguruan
tinggi di Timur Tengah. Dia tak memaksa anak-anaknya melanjutkan posisinya
sebagai pengasuh Pesantren Cipasung.
Ruang cinta
putrinya pun tak dibelenggu, Pak Ilyas tak menjodohkan putrinya dengan sesama
anak ajeungan dan pintar mengaji. Acep Zam Zam Noor, anak sulung Pak
Ilyas, dikenal sebagai seniman. Dia dulu kuliah di Seni Rupa ITB yang
diselesaikan hingga tuntas. Dua adiknya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah
Rahayu menyelesaikan kuliahnya di IKIP Bandung (sekarang UPI).
Ketiganya
akhirnya menikah dengan pasangan yang bukan berlatar belakang pesantren. Meski
tak menguasai kitab kuning sepertihalnya orangtua mereka, ketiga anak beserta
pasangan selalu bahu membahu untuk mempertahankan dan mengembangkan pesantren.
Selama nyantri
di Cipasung, Mbak Nong juga merasakan sendiri hubungan pihak pesantren dengan
masyarakat sekitar. Dia merasakan adanya kebersamaan dan kedekatan antara
pesantren dan masyarakat.
Pak Ilyas,
selain menjadi pengasuh pesantren, juga ngemong
masyarakat. Tak hanya ikut terlibat menjaga dan membangun masyarakat yang satu
pandangan, juga dengan yang berbeda pandangan. Hal inilah yang membuat Mbak
Nong merasa aneh ketika dia melihat beragam pertikaian yang disebabkan
perbedaan pandangan.
Pengalaman
yang didapat di Cipasung membentuk karakter kuat padanya. Karakter yang terus
dia kembangkan selanjutnya. Sesudah meninggalkan Cipasung, Mbak Nong
melanjutkan pendidikan formalnya ke IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang dikenal
UIN Ciputat). Semangat besar dalam ber-thalab al-‘ilmi membuatnya tak
puas dengan pelajaran yang didapat di kelas.
Mbak Nong
rajin mendatangi beragam forum diskusi dan seminar. Dia tak segan berdiskusi,
berdebat, maupun sekedar berungkap pendapat dengan liyan. Sepanjang
menjalani kebiasaan ini, dia dikenal sebagai sosok yang yakin diri ketika
mengungkapkan isi hati. Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) adalah tempat nongkrong
kesukaannya.
Mbak Nong
memang senang terlibat obrolan. Obrolan menjadi semacam ritual wajib di luar
kesibukannya. Selalu saja ada waktu luang digunakannya untuk terlibat obrolan
dengan siapa saja. Obrolan dengan mereka yang selaras dengannya ikut serta
memperkaya sedangkan dengan mereka yang berbeda dengannya memberi warna lain
tersendiri.
Dari obrolan
inilah Mbak Nong mulai banyak tahu seputar seni, sastra, film, hingga politik.
Walau demikian, kalau dia tak tahu, dia mengakui. Seperti untuk urusan ekonomi.
Malah Mbak Nong tampak woles kelihaiannya memasak kalah gemilang
ketimbang suaminya sekarang.
Mengobrol merupakan salah satu cara untuk tak
mem-‘benda’-kan akal. Sang Pencipta menganugerahkan akal pada manusia bukan
hanya sebagai property belaka melainkan untuk di-‘pekerja’-kan terus
menerus.
Wajar kalau akal tak sekalipun muncul sebagai kata benda
[اسم] di dalam al-Quran namun berulang kali muncul dalam bentuk kata kerja
[فعل]. Wajar juga kalau perintah belajar dan membangun lingkungan dituturkan
dalam bentuk kata kerja present dan future [الفعل المضارع], bukan
kata kerja past [الفعل الماضي].
وَمَا كَانَ
ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ
مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟
فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ۞ [القرآن الكريم سورة
التوبة : ١٢٢]
Mbak Nong
ditempa pada lingkungan yang erat dengan puan. Ketika di Labuan, dia sangat
dekat dengan Umi. Hijrah ke Cipasung pun serupa. Bahkan kedua buah hatinya pun puan. Andrea Azalia Ardhani Wibowo, nama lengkap putri
kesayangannya ini. Putri pertama yang mewarisi kecantikan dan tumbuh menjadi wonder
woman laiknya sang ibu ini biasa disapa Dea atau Ea.
Dea yang
lahir pada 09 Agustus 2004 merupakan anak satu-satunya dari pernikahan Mbak
Nong dan Indra Budhi Wibowo. Dea menjalani masa kecil yang berat ketika harus
merasakan keseharian di tengah ayah dan ibu yang memilih berpisah. Sesudah perpisahan
tersebut, Dea hidup bersama sang ibu.
Mulanya Mbak
Nong tak hendak menamai buah hati yang dilahirkan melalui ceasar di RS Bunda
ini dengan nama Andrea. Jauh-jauh hari sudah dipersiapkan nama buat buah
hatinya. Hanya saja, setelah keadaan tak memperkenankannya melewati proses
persalinan dengan normal, Mbak Nong yang biasa kuat justru gugup.
Sosok yang
tak ragu berungkap isi hati ini merasa ngeri membayangkan harus
menjalani operasi. Di tengah rasa gugup yang merisak, Mbak Nong merasakan
ketenangan ketika menikmati karya The Corrs, grup asal Dundalk.
Mbak Nong
menyebut dirinya adalah fans berat grup musik beranggotakan empat buah hati
pasangan Gerry Corr dan Jean ini. Andrea Jane Corr, lead vocalist dan tin
whistler di grup ber-genre utama folk rock adalah anggota
paling digandrunginya. Andrea sendiri di The Corrs menjadi punggawa termuda
yang usianya sebaya dengannya (Andrea lahir pada 17 Mei 1974).
Merasakan
ketenangan ketika menikmati karya The Corrs terutama suara indah Andrea, timbul
keinginan memberikan nama Andrea untuk buah hatinya. Baginya, Andrea adalah
nama yang melintas batas laki dan puan. Dea pun tumbuh menjadi lovejoy
yang kerap memperlihatkan rasa ingin tahunya.
Sebagai ibu
muda, Mbak Nong sempat dibikin bingung cara menjawab pertanyaan Dea tentang
kelahirannya. “Aku keluar dari mana sih dulu (maksudnya ketika lahir)?” tanya
Dea satu waktu. Pengalaman semacam ini membuat Mbak Nong belajar cara
menjelaskan pada anak-anak. Bahkan Dea pernah bertanya tentang siapa Tuhan yang
ditanggapi Mbak Nong dengan jawaban, “Tuhan itu yang menciptakan mama, Dea,
dunia ini, dan memeliharanya.”
Sejak kecil
juga Dea menunjukkan kelincahan. Tak heran jika Dea bisa dengan mudah meniru
tarian ala JKT48, grup penggelinjang yang digemarinya. Kebersamaan dengan Dea
menjadi surga bagi Mbak Nong ketika dia harus menghadapi kegagalan membina
keluarga dan rumah tangga dengan ayah kandungnya Dea.
Kamu Kamulah
Surgaku, karya Ahmad Dhani Prasetyo yang dipakai sebagai
ungkapan sekaligus penghibur bagi ketiga buah hatinya dengan Maia Estianty,
menjadi langgam yang dipersembahkan pada Dea ketika Mbak Nong masih menjadi
orangtua tunggal baginya. Kebetulan tahun itu Mbak Nong menjadi penyunting buku
Pergulatan Iman yang turut memuat wawancara tentang pergulatan iman yang
pernah dialami Dhani.
Beruntung
perpisahan orangtua dan disusuli pertengkaran menyebalkan ala Dhani-Maia
sehingga tak banyak merisak sukma Dea. Keharmonisan Mbak Nong dan suami
pertamanya terbilang mengesankan meski relasi di dalamnya tidaklah kekal.
Kebiasaan terlibat obrolan pula yang menjadi perantara Mbak Nong kembali mengisi lubang kosong di hatinya. Sebuah lubang menganga yang sempat tak terisi oleh kasih sayang seorang laki. Satu lubang yang sempat membuatnya sepi dalam kesendirian.
Kebiasaan terlibat obrolan pula yang menjadi perantara Mbak Nong kembali mengisi lubang kosong di hatinya. Sebuah lubang menganga yang sempat tak terisi oleh kasih sayang seorang laki. Satu lubang yang sempat membuatnya sepi dalam kesendirian.
Setelah
terlibat persahabatan cinta yang tulus dengan
Mohamad Guntur Romli, keduanya
lalu bersama melaras hati. Berkelana bersama mengiris
janji melantan
keharmonisan dalam ikatan azam.
Proklamasi
revolusi cinta dalam bingkai keluarga dan rumah tangga dilakukan 25 Juli 2010 bertempat
di aula Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Satu sisi telah terhapus
menyisakan perih yang dalam. Satu sisi telah terlahir menghapus sunyi yang
panjang. Satu sisi melimpah berkah memeluk lelah.
Bagi
Mbak Nong, pernikahan dengan Guntur merupakan pernikahan keduanya. Sementara
bagi laki kelahiran Situbondo 17 Maret 1978, pernikahan ini menjadi start, finish, dan satu-satunya. Guntur menyadari bahwa menduakan
pasangan merupakan kelakuan tak religius dan bertentangan dengan pengalaman
pribadi Adam.
Mbak
Nong dan Guntur bukan semata saling memerankan diri sebagai mitra selakangan
pasangan. Sebagai dua manusia yang seideologi dan seperjuangan—gitu kalau ngikutin istilah butcah radikal—Mbak Nong dan
Guntur juga bisa saling memperkaya dan mewarnai unjuk pikiran maupun perasaan.
Mbak Nong bahkan meminta mahar pernikahannya dengan Guntur
berupa sebuah buku. Mahar pernikahan merupakan hak bagi puan. Menentukan mahar
dengan caranya sendiri merupakan gambaran kemandirian. Apalagi mahar yang
diminta sederhana, menulis sebuah buku.
Bukan
bermaksud menganggap enteng perjuangan Guntur dalam mempersembahkan mahar tersebut,
namun dengan menyebut sederhana sebagai bentuk pengakuan terhadap keberhasilan
melewati serentetan proses yang rumit. Sederhana tampak biasa saja, namun di
balik sederhana tersimpan ke-ruwet-an
yang luar biasa. Sederhana bukanlah perkara remeh dan sepele.
Apa tidak ruwet namanya kalau Guntur harus jungkir-balik
menyelami ragam macam pemaparan unjuk pikiran tentang puan? Belum lagi dia melakukan
time travel dengan mengenang kembali
peristiwa yang pernah dialami dan dirasakan sendiri. Semua perjuangan melaras
data guna memeras makna dilakoni sepenuh hati sebagai persembahan untuk pujaan hati.
Jadilah
sebuah buku berjudul Muslim Feminis
sebagai mahar sederhana yang terkenang manis. Terlebih dalam perjuangan menyelesaikan
penulisan buku ini, Dea ikut serta memperhatikan. Sesekali Dea ikut berkomentar
pada laki yang mulanya disapa ‘om’ dan belakangan menjadi ayahnya ini.
Walau demikian,
Mbak Nong dan Guntur saat
memulai revolusi cinta mereka pada 13 Juni 2010 tampak tak berpikir dulu.
Revolusi cinta yang mereka lakoni
berjalan seperti orang
berhitung barengan dimulai dari 0 kayak di SPBU. “Dimulai dari 0 ya,
sampai angka terakhir,” tanpa mikir
dulu kalau sudah menghitung 0, 1, 2, 3, 4, terus menerus tidak akan bisa
berakhir.
Kebersamaan
keduanya semakin indah dirasa berdua dengan kehadiran Alexandria Hypatia
Mohamada, putri kedua Mbak Nong yang lahir pada 21 Maret 2011. Nama putri yang
disapa Sasha ini diadaptasi dari Hypatia of Alexandria.
Hypatia
sendiri merupakan puan terpandang dalam kajian ilmu alam, saat kajian ini masih
didominasi oleh kaum laki. Selain menekuni ilmu alam, terutama matematika dan
astronomi, puan yang diperkirakan lahir antara 350–70 M dan wafat pada 415 M juga
ikut serta mengajarkan pada liyan.
Sayang,
sosok yang dikenal mengutamakan kajian logika ini mengalami nasib tragis. Hanya
karena dianggap sebagai dalang penistaan agama, Hypatia tewas setelah dibunuh
oleh gerombolan orang yang tersinggung. Meski melakukan kekejaman, tersirat
bahwa gerombolan tersebut mengakui bahwa Hypatia merupakan sosok yang sanggup
menggerakkan kerumunan.
Ditilik
dari arti katanya, ‘Hypatia’ merupakan bentuk feminin dari ὕπατος (upatos) yang
bermakna ‘tertinggi’. Sementara Mohamada merupakan paduan nama Mbak Nong dan
Guntur. Paduan yang bisa memiliki makna sendiri.
Nama adalah
doa dari pemberi nama kepada yang diberi nama. Selain diucapkan dalam
serentetan rangkaian ritual ibadah
mahdhah, doa juga bisa diungkapkan melalui sebuah nama yang disandangkan.
Doa yang dihembuskan oleh orangtua sedari dini dalam suasana bahagia melalui
sebuah nama akan terus menyerta tanpa sirna.
Sebagai puan
yang sepanjang menggelinjang erat dengan puan, Mbak Nong tertarik menggeluti
segala hal terkait puan. Mulai dari teori-teori sosial, isu-isu, hingga karya
kaum puan. Selain Andrea punggawa The Corrs dan Hypatia of Alexandria, sosok puan lainnya juga turut digandrunginya, mulai dari Rifaat Hasan
(Pakistan), Fetima Mernissi (Maroko), Nawal El Saadawi (Mesir), hingga Irshad
Manji (Kanada).
Tak jarang
dalam beberapa hal saya merasa ada kesamaan antara saya dengannya. Rasa sama
itulah yang mungkin membikin saya mengaguminya. Tak dimungkiri, dalam beberapa
hal lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan. Hanya saja, jika ada satu
titik yang mengharmoniskan untuk apa mempermasalahkan titik-titik lain yang
menceraikan?
Mbak Nong
termasuk orang yang menginspirasi saya untuk yakin diri tanpa merendahkan liyan.
Dia terlatih untuk tak melayang dengan pujian dari para pengagumnya dan tak
langsir ungkapan nyinyir dari kalangan pandir yang sirik tiada akhir.
Mbak Nong
hanyalah manusia biasa. Dia merupakan sosok berperasaan dengan penampilan menawan yang mau membaur dalam lingkungan. Sepanjang menjalani keseharian, dia terus
berbuat untuk menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan. Apa yang
istimewa darinya?
Walau tak
istimewa, Mbak Nong tetaplah sosok panutan yang patut dianut. Semangat
perjuangannya layak diperjuangkan. Perjalanannya merupakan satu sisi megah
tersendiri yang layak dikagumi.
Mbak Nong
mentas tanpa mencari pencapaian namun tak lelah berjuang. Di-reken sukses atau tidak dalam pencapaian
bukan urusannya, yang merupakan kesuksannya hanyalah tak lelah mengayuh secara
terus-menerus.
Mengayuh...
mengayuh... mengayuh perjalanan... saling mengapresiasi kesamaan dan
menghormati ketidaksamaan... “You say God
give me a choice...” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race.
Mbak Nong tak
lelah berjuang mewujudkan lingkungan kebersamaan yang harmonis. Lingkungan yang
membuat orang-orang merasa aman dan nyaman saat saling menyapa karena memiliki
rasa sama sebagai manusia.
Satu
perjuangan besar yang patut diapresiasi, lantaran saling menyapa adalah satu
cara jitu untuk merawat titik temu antar sesama. Seperti diungkapkan oleh nama
besar sebelum Mbak Nong, Master Mister Immortal Commander Muhammad shallallahu'alaihiwasallam sang kirana azalea, bahwa menyapa adalah senjata
manusia beriman [الدعاء سلاح المؤمن]. Satu pernyataan yang diabadikan oleh Madonna melalui Like a Prayer.
Saling
menyapa pula yang membuat Mbak Nong menjadi seorang guru bagi saya. Seorang yang rekam
jejaknya layak di-tiru
(menginspirasi) dan pernyataannya pantas di-gugu
(memotivasi). Pemilik warung Soto Bakar Teh Nong menginspirasi saya agar tak lelah mengayuh peluh sekaligus terus memotivasi untuk selalu rela dengan takdir terburuk
dari Allah.
Kerelaan pada takdir terburuk dari Allah merupakan upaya menghindari amarah dan tak kabur dari rasa syukur. Pasalnya amarah cenderung menggiring mata untuk memandang segala yang nista. Segala penataan pagelaran Pelantan harus diterima dengan legowo. Segala yang ditatakan Pelantan adalah wujud kekuasaan Ilah [إله] dan kasihsayang Rabbi [رب].
Ilah dan Rabbi adalah dua kata serupa yang berbeda penekanannya. Ketika berkaitan dengan Ilah, penekanannya terletak pada sisi maskulin. Sementara ketika berkaitan dengan Rabbi, letak penekanan pada sisi feminin. Wajar jika penulisan Rabbi tampak seperti seorang yang sedang menimang bayi sedangkan Ilah seperti seorang yang berdiri tegak.
Mbak Nong menunjukkan pada saya untuk mampu mengendalikan diri bebas dari rasa takut dan duka cita. Kepada Ilahi-Rabbi, dia selalu berserah. Kepada kata-kata yang dialamatkan padanya, dia selalu terserah. Sehingga mampu menjalani keseharian biasa saja menuju Allah.
Manusia diciptakan dari Allah dan menuju ke Allah. Bukan kembali karena kembali tak dimungkinkan secara waktu. Dalam waktu, pergerakan tak bisa dilakukan mundur namun terus maju. Karena posisi awal dan akhirnya sama, maka tidak terjadi perpindahan. Tidak terjadi perpindahan bukan berarti tidak menempuh perjalanan.
Pandangan fisika menuturkan bahwa jarak tempuh sejauh apapun ketika posisi akhir sama dengan posisi awalnya, dapat disebut tidak terjadi perpindahan. Seluruh ciptaan Ilahi-Rabbi tak bisa lepas atas pola mengikuti serta berada dalam batas kelangsungan ‘dari’ ke ‘menuju’ dan berpuncak membentuk lingkaran [إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ].
Entah lingkaran itu tersusun atas lurusan-lurusan atau lurusan-lurusan yang membentuk lingkaran, tak jelas. Sama tak jelasnya dengan segala peristiwa yang dialami. Tak jelas peristiwa itu memberi rasa suka atau duka karena ukuran suka dan duka tergantung suasana yang sedang dirasa. Yang jelas, segala peristiwa harus diterima dengan woles.
Dengan woles menerima segala penataan pagelaran Pelantan, sembah rasa cinta pada Ilahi-Rabbi bisa terus menggelora [رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً]. Gelora sembah rasa yang membuat kita tak lelah berharap berjumpa Pencipta dengan sapaan mesra:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي ۞ [القرآن الكريم سورة الفجر : ٢٧ - ٣١]
Kerelaan pada takdir terburuk dari Allah merupakan upaya menghindari amarah dan tak kabur dari rasa syukur. Pasalnya amarah cenderung menggiring mata untuk memandang segala yang nista. Segala penataan pagelaran Pelantan harus diterima dengan legowo. Segala yang ditatakan Pelantan adalah wujud kekuasaan Ilah [إله] dan kasihsayang Rabbi [رب].
Ilah dan Rabbi adalah dua kata serupa yang berbeda penekanannya. Ketika berkaitan dengan Ilah, penekanannya terletak pada sisi maskulin. Sementara ketika berkaitan dengan Rabbi, letak penekanan pada sisi feminin. Wajar jika penulisan Rabbi tampak seperti seorang yang sedang menimang bayi sedangkan Ilah seperti seorang yang berdiri tegak.
Mbak Nong menunjukkan pada saya untuk mampu mengendalikan diri bebas dari rasa takut dan duka cita. Kepada Ilahi-Rabbi, dia selalu berserah. Kepada kata-kata yang dialamatkan padanya, dia selalu terserah. Sehingga mampu menjalani keseharian biasa saja menuju Allah.
Manusia diciptakan dari Allah dan menuju ke Allah. Bukan kembali karena kembali tak dimungkinkan secara waktu. Dalam waktu, pergerakan tak bisa dilakukan mundur namun terus maju. Karena posisi awal dan akhirnya sama, maka tidak terjadi perpindahan. Tidak terjadi perpindahan bukan berarti tidak menempuh perjalanan.
Pandangan fisika menuturkan bahwa jarak tempuh sejauh apapun ketika posisi akhir sama dengan posisi awalnya, dapat disebut tidak terjadi perpindahan. Seluruh ciptaan Ilahi-Rabbi tak bisa lepas atas pola mengikuti serta berada dalam batas kelangsungan ‘dari’ ke ‘menuju’ dan berpuncak membentuk lingkaran [إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ].
Entah lingkaran itu tersusun atas lurusan-lurusan atau lurusan-lurusan yang membentuk lingkaran, tak jelas. Sama tak jelasnya dengan segala peristiwa yang dialami. Tak jelas peristiwa itu memberi rasa suka atau duka karena ukuran suka dan duka tergantung suasana yang sedang dirasa. Yang jelas, segala peristiwa harus diterima dengan woles.
Dengan woles menerima segala penataan pagelaran Pelantan, sembah rasa cinta pada Ilahi-Rabbi bisa terus menggelora [رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً]. Gelora sembah rasa yang membuat kita tak lelah berharap berjumpa Pencipta dengan sapaan mesra:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي ۞ [القرآن الكريم سورة الفجر : ٢٧ - ٣١]
Sapaan mesra yang membuat surga dan neraka tak lagi menjadi perkara penting. Sebab yang paling penting adalah berada dalam keadaan sepenuhnya terserap ‘hilang’ menjadi bagian Kirana, satu ‘perkara’ yang tak memiliki massa dan usia.
Kirana menjadi ‘satu perkara’ yang memperlihatkan batas keberlakuan ilmu fisika. Pandangan fisika menuturkan bahwa setiap benda di dunia ini lambat laun akan hancur, sedangkan Kirana selalu ada. Satu-satunya cara semesta agar tidak hancur hanyalah manunggal dengan Kirana, yang dituturkan bahwa:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ۞ [القرآن الكريم سورة النّور : ٣٥]
Saat waktu merentang, interaksi kami jadi berkurang. Walau begitu, perkenalan dan interaksi dengannya selalu memberi rasa senang. Mbak Nong tetaplah Mbak Nong, yang terus melangkah tanpa bisa dituturkan melalui kata dan aksara sepenuhnya. Karena wanita memang sulit dimengerti, ciyus.
"وعين الرضا عن كل عيب كليلة ولكن عين السخط تبدي المساويا"
B.Km.Pa.020250.38.031116.17:34
Di-recycle plus
dari:
[04]
Percakapan dengan Mbak Nong