🏀 Reticent 🎸


— hot in between the best damn thing minutes to midnight 
 
[Picture by Andra Junaidi Ramadhan]
Sebelum menyadari kalau saya perokok, saya tak pernah bicara dengan Jeffa. Maksudnya, tak pernah mengobrolkan perkara penting bagi saya dengannya. Kami memang biasa saling menyapa walakin terlibat obrolan sampai menjamah ranah pribadi adalah hal berbeda. Walau Jeffa termasuk orang pertama yang segera saya jumpai di Bandung, sebelum Maryam Musfiroh malah.

Satu waktu ketika matrikulasi, dia mendapati saya sedang menikmati rokok di kamar selepas adzan Isya’. Jeffa sempat terpana dan segera tertawa melihat peristiwa yang disaksikannya ini. Lalu dia mulai bercerita kalau dia juga perokok, meski diam-diam. Diam-diam yang gagal, lha wong kebiasaannya saya bacotin terus ke lingkungan.

Perlahan malar Jeffa dan saya menjadi bersahabat lekat. Bertahan saling menghormati dan mengapresiasi setiap keseharian yang dijalani masing-masing. Hanya saja setelah sepaket adik kelasnya bilang pada saya bahwa mereka diminta oleh Jeffa untuk diam saja pada saya, hubungan Jeffa dan saya tampak sudah patah.

Saya memang sulit menerima sikapnya yang demikian. Alih-alih mengatakan pada saya untuk jaga jarak dengan anak-anak, Jeffa lebih memilih mengatakan kosok balinya. Ya sudah. Tak ada yang perlu disesali, suka dan duka yang dialami tak istimewa karena semua manusia mengalaminya.

Setelahnya, saya terus merasa sulit untuk kembali berinteraksi seperti sebelumnya, bebas bercakap dari perkara yang disangka remeh sampai peristiwa yang dianggap penting. Siapa yang menjauhi bukan hal penting.

Bisa jadi saya yang menjauhi karena memang sakit hati. Mungkin juga dia yang menjauhi karena saya memang bukan orang baik dan diciptakan untuk mengalahkan kesombongan Iblis. Atau Jeffa dan saya memang tak bisa berjalan bersama melainkan hanya sempat berpapasan di perempatan saja.

Interaksi intim mengungkap sisi terbaik dan terburuk manusia karena taruhan perasaannya sangat besar. Dalam interaksi intim, saya biasa mengungkapkan segala yang dirasa tanpa peduli dengan dampaknya. Tak semua manusia siap terlibat suasana demikian. Hingga menciptakan suasana baru saat saling memendam rasa dalam diam.

Tak jarang rasa yang dipendam dirasakan sebagai getaran pembanting suasana. Dalam keadaan seperti ini, asyik rasanya mementaskan satu set perilaku yang mengesankan saya layak dibenci.

Kesan yang bisa membuat suasana menjadi sarana katup pelepasan rasa yang dipendam. Sembari memancing amarah sekerumunan orang untuk memudahkan saya dalam mengoreksi diri. Bukankah sekarang sedang meriah-meriahnya pementasan kesan dipuja?

Hubungan Jeffa dan saya mungkin memang sudah patah. Walau demikian, saya mengenang masa-masanya bersama saya dengan rasa bangga dan syukur. Beruntung bisa kenal baik dengan laki keren ini.

Setidaknya dia yang menemukan saya ketika saya mulai rapuh di tahun penebalan. Saat saya belum sadar bahwa akan memasuki masa-masa terdampar di keruhnya satu sisi dunia pada tahun penajaman.

Jeffa saat itu muncul dengan kesadaran diri. Dia memahami kekuatan, kelemahan, dan pandangan. Interaksi dia dengan saya mulai terbangun erat. Meski tak ada garansi bisa kuat, dia berinteraksi disertai rasa empati. Rasa empati yang mewujud pada kemauannya meluangkan waktu untuk terlibat obrolan.

Jeffa dan saya perlahan mulai terlibat obrolan sejak saat itu. Entah obrolan yang dianggap serius maupun yang dipandang picisan. Obrolan selalu penting bagi saya, salah satu cara untuk tak mem-‘benda’-kan akal. Sang Pencipta menganugerahkan akal pada manusia bukan hanya sebagai property belaka melainkan untuk di-‘pekerja’-kan terus menerus.

Wajar kalau akal tak sekalipun muncul sebagai kata benda (isim) di dalam al-Quran namun berulang kali muncul dalam bentuk kata kerja (fi’il). Wajar juga kalau perintah belajar dituturkan dalam bentuk kata kerja present dan future (fi’il mudhari’), bukan kata kerja past (fi’il madhi). Agar pekerjaannya tak mangkrak di situ mulu.
[Picture by Andra Junaidi Ramadhan]
Melalui obrolan juga saya bisa menemukan kesamaan antara Jeffa dan saya. Rasa sama itulah yang memantik keharmonisan antara dia dan saya. Tak dimungkiri, dalam beberapa hal lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan. Jika ada satu titik yang mengharmoniskan untuk apa mempermasalahkan titik-titik lain yang menceraikan?

Pada masanya, Jeffa berkilau seterang kirana. Waktu luang yang dia berikan merupakan anugerah megah tersendiri bagi saya. Saya masih mengenang saat mengalami under pressure November sewindu silam. Saat itu, hanya ada satu makluk Tuhan yang mau berada di samping saya. Bersedia meluangkan waktunya untuk terlibat obrolan dengan saya sebagai cara paling cocok untuk bisa mengendalikan diri.

Belakangan saya baru mengerti kalau satu masalah saat 06 Agustus 2015 berdampak domino. Satu masalah muncul menghantam sisi lain yang ikut bermasalah. Salah satu sisi yang bermasalah ialah tak ada ruang bagi saya untuk melakukan déjà vu 2008, atau minimal 2014.

Generasi lawas sebelum 2011 menawarkan uluran tangan, namun saya tolak meski sempat kecolongan. Saat ada kesempatan untuk membuat catatan baru, buat apa saya lepaskan? Lagipula kalau memang saya mengalami peristiwa seperti dulu, bukankah menjadi masa-masa mekarnya bunga baru? Meski yang terakhir tak pernah terjadi.

Masa-masa itu saya memang sedang ambruk. Nyaris saja kehilangan my faith andai Hida tak tiba-tiba menghubungi saya melalui telepon tepat 14 tahun setelah Freddie Mercury wafat. Saya juga merasa kesulitan untuk bisa bercengkerama dengan orang lain dalam suasana empat mata, termasuk Jeffa.

Selalu saja ada mata lain yang terlibat dan bukan keadaan menyenangkan untuk mengobrolkan perkara pribadi dalam suasana seperti ini. Sialnya, saat saya mendapat kesempatan langka yang sedang dicari ini, muncul obrolan tak penting seperti agama, negara, dsb. dst..

Bahkan tak sekalipun muncul obrolan yang penting, ialah industri entertainment. Entertainment yang sudah menjelma menjadi jajanan industri memang satu sisi penting bagi saya. Entertainment memiliki sisi yang bisa menggembirakan rasa.

Saat agama, negara, dan kebiasaan lingkungan sulit menggembirakan rasa, entertainment menjadi sarana paling enak melepas rasa lara. Entertainment memiliki unsur yang dapat menyentuh perasaan manusia as insan.

Manusia adalah makhluk hidup yang berperasaan. Ketika ada manusia yang memiliki satu set badan lengkap yang berguna tanpa cacat walakin tak dapat merasakan rasanya sendiri, apalagi rasa manusia lainnya, dia sekan robot. Robot memang bisa dirancang agar memiliki kepintaran melebihi kepintaran perancang, hanya saja robot belum bisa memiliki rasa.

Rasa bagi manusia menjadi dasar yang kuat dalam menjalani keseharian. Rasa sama membikin manusia saling terikat dalam lingkungan sehingga segala yang dilakoni bisa saling memuliakan dan melantan muruah liyan. Kosok bali dengan rasa beda, baik rasa lebih tinggi maupun lebih rendah dari liyan, rentan menimbulkan semangat pertikaian ataupun ketidakpedulian.

Segala perkara maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia pasti berguna bagi keberlangsungan keseharian manusia. Itulah mengapa seorang Park Bom yang tak di-reken oleh sebagian orang sebagai sosok agung memiliki daya dorong luar biasa pada saya. Bom sanggup membawa batin saya larut terhadap suatu hal.

Saking hanyut emosi itu sampai pementasan perilaku tak bisa durunut dengan nalar biasa. Puan Aries ini seperti Sayyidina Ali dan Sayyidati Aisha. Dua entertainer yang suka bacot-bacotan pada masanya. Mereka sama-sama menjadi sosok yang sangat dicintai oleh sekerumunan dan begitu dibenci oleh sekerumunan lain. Yang jelas, apapun perlakuan yang diterima Bom, dia tetap bisa membuat banyak orang ceria meski dia sendiri bilang dirinya tidak happy.

Kebergunaan yang biasanya mewujud dalam rasa gembira menimbulkan kekaguman hingga memberi semangat untuk melakukan peniruan. Peniruan adalah wujud pujian abadi paling luhur yang dilandasi dengan kekaguman. Meniru bikin asbak dari kaleng bekas minuman misalnya (selanjutnya Asbak Bee saja biar enggak makan karakter).
[Picture by Andra Junaidi Ramadhan]
Sebagai perokok, mengakali keadaan untuk tetap merokok sambil menciptakan kebersihan lingkungan dengan membuat asbak dari kaleng bekas adalah hal yang biasa, tak istimewa. Menjadi mubdi’  (pelaku bid’ah, orang yang kreatif, creator) dalam membuat asbak bukanlah catatan mengagumkan karena tidak di-reken oleh negara.

Jeffa pertama kali membuat Asbak Bee menggunakan kaleng bekas Calpico rasa melon (atau Larutan Cap Badak rasa apel?). Saat itu saya sudah biasa menggunakan asbak dengan bahan yang sama, kaleng bekas minuman, Bintang pasnya. Cuma beda pembuatannya.

Saya membuatnya dengan memotong kaleng menjadi dua bagian, mirip seperti gelas minum. Sementara Jeffa membuat dengan memotong bagian pinggir. Menurut saya lebih bagus buatannya, jadilah saya menirunya dengan sedikit perubahan.

Potongan Jeffa berbentuk persegi panjang. Sedangkan saya lebih suka memotong dengan bentuk oval, lebih dekat dengan lingkaran. Satu peristiwa lucu terjadi saat saya hendak melakukan peniruan pertama.

Mulanya satu siang saya melihat AM Fajar minum Cincau Cap Panda rasa grass jelly, saya memesan kaleng bekasnya. Fajar ini, entah pas diciptakan Allah dulu antrian keberapa, setiap makan dan minum lama sekali. Seperti lamanya Manchester City mengejar gelar juara UEFA Champions League! Saking lamanya menunggu Fajar menghabiskan minuman kaleng itu, saya sempat tertidur.

Begitu bangun, saya mendapati kaleng tersebut sudah gepeng.
“Lha, kok gini Nek (diambil dari Bone, sapaan wajar Fajar)?” tanya saya.
“Oh, lupa, tadi di-mainin Jeffa,” jawabnya datar, sedatar gebetan di-deketin olehnya.
“Oh, ya sudah kalau gitu, besok kalau beli lagi kasih ke aku ya,” tanggap saya.
“Sip,” tukas Fajar.
Lalu saya pindah ke kamar, melanjutkan tidur. Sebelum mata benar terlelap, suara percakapan Jeffa dan Fajar terdengar.

Entah apa yang mereka bicarakan, saya tak bisa menyimak dengan rapi dan rinci. Jadi ingatan saya melesat jauh di sini. Yang jelas, selepas maghrib pada hari itu, tiba-tiba Jeffa memberikan kaleng bekas seperti yang di-mainin siang harinya. Terbayang enggak kalau Jeffa tak punya kegemaran mengonsumsi brand itu tapi menyempatkan?

Jeffa dianugerahi talenta bisa ngemong. Ngemong yang saya maksud adalah tahu diri bahwa manusia memiliki sisi naas. Sisi manusia yang bisa merasa tidak mampu melakukan segala-galanya sendiri sehingga merasa perlu untuk terlibat dalam kerumunan. Kelebihan dan kekurangan dipadukan agar menciptakan keteraturan dalam kebersamaan.

Singkatnya, Jeffa dianugerahi talenta menjadi pengemong. Sebagai pengemong, Jeffa memang tak melulu tampil sebagai yang terdepan, namun perannya bisa dirasakan. Mirip Andra Junaidi Ramadhan kalau di DEWA19 maupun Sandara Park kalau di 2NE1. Pengemong jika dicari padanannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sama artinya dengan pelantan. Bagi penggemar berat LA, kata pelantan tentu lebih enak daripada pengemong, ada ‘L’ dan ‘A’-nya.

Saat waktu merentang, interaksi dengannya bisa jadi berkurang. Walau begitu, rekaman kebersamaan selalu memberi rasa senang. Pengalaman bersama Jeffa adalah masa-masa istimewa. Satu keberuntungan saat sedang rapuh terdampar di keruhnya satu sisi dunia. Satu perjumpaan fenomenal, meski relasi di dalamnya mungkin tidak kekal.

B.Ah.Kl.050250.38.051116.22:28

[Picture by Andra Junaidi Ramadhan]