💫 Hida ✨


— menunjukkan kekuatan persahabatan, bersama menyapa Kirana

 
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ ۞ [القرآن الكريم سورة آل عمران : ١٥٩]

 
Hida — menunjukkan kebersamaan persahabatan, bersama menyapa Kirana
[Picture by Britney Galaxy]

“When I met her on this date eight years ago, I never could have imagined all of the things she'd give to me. She made a great impact on myself. There is a big mutual respect between us. All praise and flattery never make her floated. All insults and contumely never make her scared.” Alobatnic on Facebook, 31 October 2016.


Manusia adalah makhluk hidup yang berperasaan. Ketika ada manusia yang memiliki satu set badan lengkap yang berguna tanpa cacat walakin tak dapat merasakan rasanya sendiri, apalagi rasa manusia lainnya, dia sekan robot. Robot memang bisa dirancang agar memiliki kepintaran melebihi kepintaran perancang, hanya saja robot belum bisa memiliki rasa.

Rasa bagi manusia menjadi dasar yang kuat dalam menjalani keseharian. Rasa sama membikin manusia saling terikat dalam lingkungan sehingga segala yang dilakoni bisa saling memuliakan dan melantan muruah liyan. Kosok bali dengan rasa beda, baik rasa lebih tinggi maupun lebih rendah dari liyan, rentan menimbulkan semangat pertikaian ataupun ketidakpedulian.

Segala sesuatu maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia pasti berguna bagi keberlangsungan keseharian manusia. Kebergunaan yang biasanya mewujud dalam rasa gembira menimbulkan kekaguman hingga memberi semangat untuk melakukan peniruan. Peniruan adalah wujud pujian abadi paling luhur yang dilandasi dengan kekaguman.

Kekaguman pada sesama manusia membikin manusia yang dikagumi mewujud sebagai panutan. Semua orang tentu memiliki panutan. Mulai orangtuanya, keluarga, tetangga, sahabat, guru, teman, hingga sosok lainnya termasuk sosok yang dikenal sebagai public figure.

Panutan, baik seorangan atau sekerumunan, memberi inspirasi mengenai langkah yang dilakoni dalam menjalani bicycle race. Panutan memiliki peran psikis, yang dapat memengaruhi pandangan (cara, sudut, dan jarak) terhadap sesuatu bahkan bisa memengaruhi seseorang sepenuhnya. Panutan boleh siapa saja.

Sah-sah saja preman yang nama sapaan karibnya tak elok menjadi nama sebuah gang menjadi panutan. Walakin nama dari sosok itulah yang selalu dilantan dengan penuh kasih sayang di hati mereka yang menggandrungi, mereka yang menjadikannya sebagai panutan. Itulah nama yang mudah diingat karena inspirasinya, bukan karena muka garangnya.

Ada banyak sosok menjadi panutan saya. Entah sosok tersebut dipandang sebagai sosok besar karena banyak orang juga mengaguminya atau dipandang sebagai sosok kecil karena sedikit orang yang mengenalnya. Sepanjang orang menampilkan kesungguhan dalam melakoni bicycle race-nya, pasti ada orang yang menjadikannya sebagai panutan, meski diam-diam.

Diantara banyak sosok itu, Hida adalah salah satunya. Saya beruntung berjumpa dengan puan bernama lengkap Nur Hidayati yang kehadirannya memperkaya dan mewarnai keseharian saya. Lebih beruntung lagi, saya bisa bersahabat dengannya sejak masa persemaian remaja. Persahabatan yang tak istimewa karena semua orang mengalaminya.

Bersama Hida, emosi bergejolak naik dan turun seiring dengan perjalanan persahabatan. Interaksi secara alami menghasilkan cekcok sepertihalnya perjuangan bertahan bersama dalam kebersamaan. Sebagai sahabat, Hida memiliki daya dorong luar biasa pada saya. Dia sanggup membawa batin saya larut terhadap suatu perkara. Saking larut batin itu sampai tak bisa durunut dengan nalar.

Dalam beberapa perkara, pernyataan Hida terasa bermakna. Pernyataan Hida sebetulnya bukan ungkapan baru. Menjadi baru hanya karena diucapkan olehnya, diucapkan oleh bukan sekadar penghafal ‘mantra itu’ walakin sekaligus oleh sang pelaku. Satu hal yang membuat ungkapan memiliki energi untuk disampaikan, bukan semata paduan kata yang terasa enak didengarkan.


Hida — menunjukkan kebersamaan persahabatan, bersama menyapa Kirana
[Picture by Andra Junaidi Ramadhan]

Perpisahan dalam ruang dengan sang bapak 28 November 2008 silam menjadi titik balik epik baginya. Setitik lara menguatkan. Setitik luka melembutkan. Setitik perih mendewasakan. Setitik peristiwa yang membuatnya tumbuh sebagai al-insan [الإنسان], al-basyar [البشر], dan an-naas [الناس] sekaligus.

Sama-sama dialihbahasakan dengan manusia, terdapat perbedaan kaitan ketika al-Quran menyebut sebagai basyar, insan,  maupun naas. Basyar dan insan merujuk pada manusia secara personal. Bedanya kalau basyar melihat sisi kasat mata sedangkan insan melihat sisi tak kasat mata. Sementara naas merujuk pada manusia secara komunal.

Hida mementaskan kesungguhan untuk bisa menjadi manusia seutuhnya. Dia mengelaborasi perasaannya agar kehadirannya memberi rasa gembira (insan). Dia juga peduli merawat kepantasan penampilan badan (basyar). Semua ini dilakukannya dengan kesadaran bahwa sebagai personal dirinya adalah bagian dari komunal (naas).

Sebagai manusia, Hida juga memiliki dua kepribadian berlawanan, lemah (femininine) dan kuat (masculinine). Kepribadian lemah yang dipentaskannya dengan sikap mengayomi selaras dengan sikap berani sebagai pementasan kepribadian kuat yang dimiliki. Dua sisi berlawanan yang sanggup dipadukannya sekaligus dengan bagus.

Kesungguhan melakoni keseharian dengan memadukan dua kepribadian seperti itu membuat Hida tak salah menjadi seorang panutan. Lagipula dirinya juga tak akan melayang dengan pujian sepertihalnya tak bisa tumbang oleh cacian. Baginya, caci maki serasa seperti puji. Sementara pujian hanya suara sumbang terdengar merdu.

Ada harga yang harus dibayar ketika saya memulai berinteraksi dengan orang lain, dan harganya adalah tak bisa berinteraksi terus menerus. Orang lain dan saya memiliki pilihan keseharian berbeda serta ada saatnya nafas berhenti berhembus. Bersama Hida juga sama saja. Sejak perkenalan kami 31 Oktober 2008 silam, saya jarang bicara dengan Hida. Maksudnya, tak setiap hari saling menyapa.

Meski demikian, persahabatan kami tetap bertahan. Bertahan bersama-sama saling mengapresiasi dan menghormati setiap pilihan yang dijalani. Tak jarang dalam beberapa hal saya merasa ada kesamaan antara saya dengannya. Tak dimungkiri, dalam beberapa hal lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan. Jika ada satu titik yang menyatukan untuk apa mempermasalahkan titik-titik lain yang menceraikan?

Hida hanyalah manusia biasa. Tak ada yang istimewa darinya. Lha wong makan saja tidak pernah sampai bisa bersih. Walau tak istimewa, Hida tetaplah sosok panutan yang patut dianut. Semangat perjuangannya layak diperjuangkan. Perjalanannya merupakan satu sisi tersendiri yang layak dikagumi.

Perjalanan Hida tak melulu disertai sikap sok beda dengan melawan arus. Kadang dia woles saja mengikuti arus. Dia hanya mengikuti nurani, yang ada kalanya tampak mengikuti arus, bisa juga melawan arus, atau membuka arus baru. Cuma mengikuti nurani tanpa ada pencapaian yang dicari.

Hida mentas tanpa mencari pencapaian namun tak lelah berjuang. Di-reken sukses atau tidak dalam pencapaian bukan urusan. Kesukesannya adalah tak lelah mengayuh secara terus-menerus. Mengayuh... mengayuh... mengayuh perjalanan... saling mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan... “You say God give me a choice...” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race.

Hida — menunjukkan kebersamaan persahabatan, bersama menyapa Kirana
[Picture by Andra Junaidi Ramadhan]

Selepas setitik perih mendewasakan itu, Hida tak lelah mengayuh penciptaan sejarah baru dalam kesehariannya. Sejarah baru tanpa bersama bapaknya yang hidup di dimensi alam berbeda. Penciptaan sejarah yang ditata dengan ciamik serta diperindah sedemikian apik.

Sebagai seorang pencipta sejarah baru [الخالق], Hida memiliki keagungan laku [المتكبر]. Keagungan bukan untuk menyombongkan diri pada liyan melainkan keagungan untuk mengatasi masalah yang pasti selalu muncul. Setiap masalah yang muncul berhasil diatasi. Semua masalah ada solusinya meski semua solusi itu ada masalahnya juga.

Keberhasilan mengatasi ragam macam permasalahan yang membuat Hida menjelma sebagai sosok yang gagah [الجبار] dan perkasa [العزيز] dalam menghadapi badai walau seorang diri. Meski bisa sendiri, Hida tak bersikap mementingkan diri sendiri saja. Dia sangat peduli pada liyan, yang merupakan buah dari jiwanya yang pengasih [الرحمن] dan penyayang [الرحيم].

Kasih-sayang yang ditumpahruahkannya tanpa pilih kasih membuatnya tampil sebagai sosok queen [الملك] tanpa pernah meminta dengan penuturan kata-kata. Kepeduliannya berpadu dengan kelihaiannya memahami segala kondisi yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui [عالم الغيب والشهادة].

Pemahaman yang membuatnya bisa menjalani keseharian seperti seharusnya tanpa dilandasi kecenderungan maupun kepentingan yang melawan nurani [القدوس]. Pemahaman yang membuatnya peduli untuk bisa menjadi penebar keselamatan [السلام] maupun pembangun kepercayaan [المؤمن].

Hida sanggup menjadi pengatur [المهيمن]. Seorang yang bisa mengatur dirinya sendiri maupun membangun lingkungan agar teratur. Lingkungan yang membuat orang-orang merasa aman dan nyaman saat saling menyapa dengan memiliki rasa sama sebagai manusia.

Saling menyapa adalah satu cara jitu untuk merawat titik temu antar sesama. Sebagaimana diungkapkan nama besar sebelum Hida, Master Mister Immortal Commander Muhammad shallallahu'alaihiwasallam sang kirana pemula semesta, bahwa menyapa adalah senjata manusia beriman [الدعاء سلاح المؤمن]. Satu pernyataan yang diabadikan oleh Madonna melalui Like a Prayer.


Hida — menunjukkan kebersamaan persahabatan, bersama menyapa Kirana
[Picture by Andra Junaidi Ramadhan]



Saling menyapa membuat kami biasa terlibat obrolan. Entah obrolan yang dianggap serius maupun yang dipandang picisan. Obrolan dengan Hida ikut serta memperkaya saya ketika pandangan kami selaras serta memberi warna lain tersendiri saat pandangannya berbeda bahkan berlawanan.

Mengobrol merupakan salah satu cara untuk tak mem-‘benda’-kan akal. Sang Pencipta menganugerahkan akal pada manusia bukan hanya sebagai property belaka melainkan untuk di-‘pekerja’-kan terus menerus.

Wajar kalau akal tak sekalipun muncul sebagai kata benda [اسم] di dalam al-Quran namun berulang kali muncul dalam bentuk kata kerja [فعل]. Wajar juga kalau perintah belajar dan membangun lingkungan dituturkan dalam bentuk kata kerja present dan future [الفعل المضارع], bukan kata kerja past [الفعل الماضي].

وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ۞ [القرآن الكريم سورة التوبة : ١٢٢]

Saling menyapa pula yang membuat puan kelahiran 29 November 1994 menjadi seorang guru bagi saya. Seorang yang rekam jejaknya layak di-tiru (menginspirasi) dan pernyataannya pantas di-gugu (memotivasi). Hida menginspirasi saya agar tak lelah mengayuh perjuangan sekaligus terus memotivasi untuk selalu rela dengan takdir terburuk dari Allah.

Kerelaan pada takdir terburuk dari Allah merupakan upaya menghindari amarah dan tak kabur dari rasa syukur. Pasalnya amarah cenderung menggiring mata untuk memandang segala yang nista. Segala penataan pagelaran Pelantan harus diterima dengan legowo. Segala yang ditatakan Pelantan adalah wujud kekuasaan Ilah [إله‎‎] dan kasihsayang Rabbi [رب‎‎].

Ilah dan Rabbi adalah dua kata serupa yang berbeda penekanannya. Ketika berkaitan dengan Ilah, penekanannya terletak pada sisi maskulin. Sementara ketika berkaitan dengan Rabbi, letak penekanan pada sisi feminin. Wajar jika penulisan Rabbi tampak seperti seorang yang sedang menimang bayi sedangkan Ilah seperti seorang yang berdiri tegak.

Hida menunjukkan pada saya untuk mampu mengendalikan diri bebas dari rasa takut dan duka cita. Kepada Ilahi-Rabbi, Hida selalu berserah. Kepada kata-kata yang dialamatkan padanya, Hida selalu terserah. Sehingga mampu menjalani keseharian biasa saja menuju Allah.

Manusia diciptakan dari Allah dan menuju ke Allah. Bukan kembali karena kembali tak dimungkinkan secara waktu. Dalam waktu, pergerakan tak bisa dilakukan mundur namun terus maju. Karena posisi awal dan akhirnya sama, maka tidak terjadi perpindahan. Tidak terjadi perpindahan bukan berarti tidak menempuh perjalanan.

Pandangan fisika menuturkan bahwa jarak tempuh sejauh apapun ketika posisi akhir sama dengan posisi awalnya, dapat disebut tidak terjadi perpindahan. Seluruh ciptaan Ilahi-Rabbi tak bisa lepas atas pola mengikuti dan berada dalam batas kelangsungan ‘dari’ ke ‘menuju’ dan berpuncak membentuk lingkaran [إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ].

Entah lingkaran itu tersusun atas lurusan-lurusan atau lurusan-lurusan yang membentuk lingkaran, tak jelas. Sama tak jelasnya dengan segala peristiwa yang dialami. Tak jelas peristiwa itu memberi rasa suka atau duka karena ukuran suka dan duka tergantung suasana yang sedang dirasa. Yang jelas, segala peristiwa harus diterima dengan legowo.

Dengan legowo menerima segala penataan pagelaran Pelantan, sembah rasa cinta pada Ilahi-Rabbi bisa terus menggelora [رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً]. Gelora sembah rasa yang membuat kita tak lelah berharap berjumpa Pencipta dengan sapaan mesra:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي ۞ [القرآن الكريم سورة الفجر : ٢٧ - ٣١]

Sapaan mesra yang membuat surga dan neraka tak lagi menjadi perkara penting. Sebab yang paling penting adalah berada dalam keadaan sepenuhnya terserap ‘hilang’ menjadi bagian Kirana, satu ‘perkara’ yang tak memiliki massa dan usia.

Satu ‘perkara’ yang memperlihatkan batas keberlakuan ilmu fisika yang menuturkan bahwa setiap benda di dunia ini lambat laun akan hancur. Sementara Kirana selalu ada. Satu-satunya cara semesta agar tidak hancur hanyalah manunggal dengan Kirana, yang dituturkan bahwa:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ۞ [القرآن الكريم سورة النّور : ٣٥]

B.Sb.Wg.040250.38.051116.08:48
Hida — menunjukkan kebersamaan persahabatan, bersama menyapa Kirana
[Picture by Andra Junaidi Ramadhan]