— breakthru and it’s true
Tangis Daniela Hantuchová di
Wimbledon 2003 silam bukan semata karena kegagalannya meraih gelar juara. Tangis
puan manis tersebut merupakan luapan kesedihan mendalam. Satu peristiwa yang
dialami beberapa waktu sebelumnya menjelma menjadi lara. Setitik lara yang
terasa perih berhasil mengubah perjalanan kariernya yang sejak saat itu tampak tenggelam.
Kala itu, Dani menatap Wimbledon 2003
dengan rekam jejak menawan. Rekaman raihan gelar kejuaraan maupun apresiasi
resmi cukup menjadi modal untuk menggangu nyali lawan. Apalagi Dani datang
sebagai unggulan kesembilan. Selain itu, di usianya yang masih 20 tahun, dia
sudah berhasil menarik banyak perhatian. Penampilan menawan disertai ukuran kesintalan
badan lumayan membuat namanya kerap dielu-elukan.
Penampilan pertama Dani semula terlihat
meyakinkan. Dani dengan mudah menghentikan laju Marion Bartoli dari kejuaraan.
Pertarungan keduanya di babak pertama berakhir dua set langsung dengan angka 6-4 dan 6-1 untuk Dani. Sebuah langkah
indah untuk bisa menjuarai kejuaran bergengsi ini. Tampak tak ada tanda bahwa
dia harus undur diri lebih dini.
Sayang, langkah Dani segera terhenti
di babak kedua. Di tengah keadaan batinnya yang masih menanggung perih, Dani harus
rela meninggalkan arena. Shinobu Asagoe [浅越 しのぶ]
berhasil mengandaskan perjuangannya. Dani yang tampil sebagai unggulan kesembilan
harus rela dipermalukan oleh petenis ‘unggulan’ kedelapanpuluh satu! Satu
peristiwa yang semakin menyesakkan kalbu.
Menghadapi petenis asal Jepang ini,
Dani tampak akan mudah mengakhiri laga. Kemenangan 6-0 di set pertama membuat kemenangannya tinggal setengah langkah lagi.
Sayang, Dani kehilangan kemenangan di set
kedua. Angka 6-4 untuk Asagoe menjadi pemungkas set ini.
Saat keduanya memiliki peluang
berimbang, Asagoe berhasil mengakhiri laga sebagai pemenang. Angka 12-10 untuknya
berhasil membikin Dani tumbang. Kemenangan dalam pertarungan alot sepanjang
tiga jam yang mengesankan bagi Asagoe hingga terus dia kenang.
Daniela Hantuchová lahir pada 23
April 1983 di Poprad, Czechoslovakia (kini Slovakia). Ayahnya, Igor Hantucha
(Igor), merupakan seorang profesor dalam ilmu komputer. Bundanya, Mariane
Hantuchová (Marianna), merupakan ahli racun (toxicologist)
terkemuka. Sementara kakaknya, Igor Hantucha (Igor junior), adalah seorang
arsitek.
Terlahir di tengah keluarga ilmuwan, Dani
kini dikenal luas di pentas hiburan. Dia memilih menekuni karier sebagai
petenis alih-alih melanjutkan langkah yang ‘dirintis’ orangtua atau menikam
jejak kakaknya. Dani mengenal tenis dari neneknya, Helena, yang merupakan
petenis papan atas Czechoslovakia. Sang nenek berharap Dani sanggup melanjutkan
kiprahnya. Tampil berjaya di panggung dunia dengan menjadi juara, begitu kira-kira.
Umumnya, kasih sayang seorang kakek
atau nenek terhadap sang cucu lebih mendalam ketimbang orangtua pada anaknya.
Terlebih ketika cucu memiliki kegemaran selaras dengan nenek. Lebih dari itu, Dani
menunjukkan tanda bahwa dirinya menikmati permainan ini sembari memendam dalam
sebuah impian. Impian untuk tampil sebagai juara dunia.
Helena dengan tekun ‘mempersiapkan’
Dani menjadi seorang petenis. Sebagai petenis, Helena berinisiatif menggarap Dani
sedari dini secara teknis juga psikis. Selain menyatakan pada Dani bahwa dia
harus bisa menikmati permainan ini, dia melatih ragam macam pukulan tenis pada
cucu kesayangan. Helena juga segera menanamkan prinsip bahwa tenis bukan hanya
permainan adu kekuatan, juga adu kecerdasan.
Ketekunan keduanya didukung dengan
fasilitas lapangan yang tersedia. Pada masa itu di tanah kelahirannya, tersedia
10 lapangan tenis yang bisa digunakan oleh masyarakat setiap hari. Dani kerap
bermain di sini sembari menerima arahan latihan dari Helena. Bertanding melawan
‘tembok’ adalah latihan perdana yang biasa dilakukan oleh Dani.
Walau sudah kesengsem pada tenis, Dani tak serta merta meninggalkan pendidikan
formalnya di sekolah. Dani tak hanya ditumbuhkembangkan dengan tenis, walakin
juga dengan kepedulian terhadap pendidikan dan penampilan badan. Dani memang ‘serakah’.
Rasa ingin tahunya yang berlebihan membuatnya selalu menekuni segala yang dikenalkan.
“I
studied very hard. My parents were highly educated and valued intelligence very
much. I was sent to one of the best high schools in Bratislava. I was very good
at mathematics, physics and computer studies. I enjoyed learning languages but
I liked everything I studied. I had top marks always, always, always. Tennis
was fun but I knew studying well was very important too.” tandas puan pemilik ukuran 30B ini.
Dani sanggup membahagiakan nenek
tanpa mengecewakan orangtua saat pilihan keduanya berbeda. Dia juga terbiasa
melakukan banyak hal, bermain piano adalah kegemaran lain yang ditekuninya. Sekolah
di pagi hari, bermain dengan teman-teman siang hari, berlatih tenis sore hari,
memainkan piano malam hari, adalah pekerjaan Dani sehari-hari. Bekerja keras
adalah kesehariannya sejak anak-anak. Keseharian yang kemudian mengendap kuat
dalam benak.
Penampilan badan menawan disertai kemauan
membaur dalam lingkungan membuat kehadirannya selalu menggembirakan
teman-teman. Rukun (pra-syarat) Dani
untuk mentas sebagai penghibur lengkap
jika keberatan disebut sempurna. Dani memiliki kemampuan yang patut dipertontonkan.
Tak hanya berparas menawan, dia pun piawai berunjuk rasa melalui paduan kata.
Kepiawaian tersebut didukung dengan
penguasaan beberapa bahasa. Setelah menguasai bahasa Slovakia (tanah kelahirannya),
Dani menekuni bahasa Ceko, Jerman, Inggris, Italia, dan Kroasia. Ketekunan
berbuah hasil mengagumkan dengan sanggup ngobrol
dengan bahasa tersebut seperti penutur aslinya sekaligus menikmati karya sastra.
Bagi Dani, bahasa adalah piranti jitu untuk bisa menyelami ragam macam budaya.
Tak cuma melalui paduan kata, alunan nada
juga menjadi sarana unjuk rasa. Piano adalah alat musik yang kerap dimainkan.
Dani bahkan menekuni secara teknis dengan ikut kursus piano selama sewindu. Saat
acara makan malam dalam kejuaraan tenis, Dani biasa didaulat sebagai pianist dadakan. Ketika pertandingan
mengalami penundaan akibat hujan, bermain piano menjadi sarananya untuk tetap
santai mengisi waktu.
Contoh bagusnya saat Dani bertandem dengan
Cliff Richard, musikus Inggris, di Wimbledon 2003. Keduanya berhasil menghibur
penonton melalui sembah rasa mereka saat hujan memaksa pertandingan ditunda.
Sebagai pianist, Dani berhasil
mementaskan keterampilannya ini dalam konser Rachmaninov, bentuk apresiasi terhadap rekam jejak Sergei
Vasilievich Rachmaninoff [Серге́й Васи́льевич Рахма́нинов], pianist asal Rusia.
Dengan banyak bidang berhasil dikuasai,
Dani berseloroh bahwa kemauan adalah modal penting yang harus dimiliki. Kemauan
memantik semangat untuk melakukan hal yang dimau berulang kali. Melakukan hal
yang dimau secara berulang kali bisa mengasah kemampuan, menambah pengalaman,
hingga berbuah keterampilan. Secara alami, instuisi juga terlatihkan.
Pernyataan Dani sebetulnya bukan ungkapan
baru. Menjadi baru hanya karena diucapkan oleh Dani, diucapkan oleh bukan sekadar
penghafal ‘mantra itu’ walakin sekaligus oleh sang pelaku. Satu hal yang
membuat ungkapan memiliki energi untuk disampaikan. Tak semata paduan kata yang
terasa enak didengarkan.
Dani juga berseloroh bahwa mental
adalah satu hal penting untuk dipelihara. Mental menjadi penentu dalam segala
suasana. Dani berulang kali menyatakan hal ini sembari menyebut nama Serena
Williams dan Maria Sharapova sebagai contohnya. Dani merasa dua petenis puan
itu adalah petenis bermental juara. Dani bahkan menegaskan, mungkin berlebihan,
bahwa Serena dan Maria sanggup meruntuhkan lawan sebelum bertanding melalui
tatapan kuat matanya.
Sayangnya, karier Dani sebagai
petenis dirisak oleh masalah mental. Perceraian kedua orangtuanya pada 2003 menjadi
peristiwa vital. Rasa kasih yang telah lama berpadu manis, tiba-tiba terkikis. Keruntuhan
keluarga dan rumah tangga membuat karier Dani sebagai petenis berubah tragis.
Orangtua memang menjadi faktor
penentu keseharian Dani. Bukan berarti dia hanya menuruti segala yang dimau
orangtuanya. Dani tak menjejak karier sebagai ilmuwan sepertihalnya orangtua,
sebagai bukti. Hanya saja Dani memiliki ikatan sangat kuat dengan orangtua.
Wajar jika setitik perih kala itu
membuat kariernya yang mentereng selama empat tahun awal segera terhantam.
Perlahan malar, karier Dani kian tenggelam dalam kelam. Penurunan berat badan
drastis adalah dampak paling cepat kentara. Media massa kerap menyebut bahwa
Dani mengalami sakit anorexia nervosa.
Hanya saja, pernyataan media massa berulang kali dibantahnya.
“I
have proved that physically I don’t have any problems. I played a three-set
match in Berlin. I played a three-set match in Rome. It was my opponents who
were struggling while I felt fine. So it’s a nice problem. I have to eat more.
I think a lot of people would like that.” tukas Dani membantah sebutan media massa.
Dani memang tak salah membantah demikian.
Penurunan berat badan tak lantas membuat fisiknya lemah dalam pertandingan.
Melalui bantahan seperti ini, Dani tampak ingin agar media massa menyimpulkan kosok
bali. Bahwa fisik yang tak bermasalah akan tetap kalah dengan mental yang mati.
Meski tak selalu meraih gelar, pesona
Dani tak serta merta pudar. Pujian dan sanjungan padanya masih sering
terdengar. Tak peduli lara yang didera membuatnya kesulitan untuk menang. Dani
terkenang sebagai sosok pejuang. Kerja kerasnya tetap membanggakan orangtua.
Bangga telah terpilih menjadi ayah dan bunda baginya.
Beberapa gelar juara yang berhasil
diraih oleh Dani bukan semata memuaskan egonya. Tidak juga sekadar menggembirakan
neneknya, namun untuk mengangkat muruah negerinya. Slovakia bisa bangga memiliki
Dani, sosok yang sanggup membuka mata dunia bahwa mereka tak bisa dipandang
sebelah mata.
Kerja keras dan kisahnya sepanjang
menggelinjang tetap terkenang. Terkenang sebagai hiburan dan inspirasi agar
menerima takdir dari Sang Penata Jagad Raya dengan rasa riang. Dani terlahir
sebagai penghibur yang sanggup membuat orang lain gembira meski dia sendiri tak
selalu merasakannya. Setitik perih tetap mengendap dalam sukma, didera sebagai
rasa lara.
B.Sn.Lg.020138.50.031016.03:58