Kabar mengejutkan dua pekan jelang Vernal Equinox terkenang sebagai setitik
lara dalam sukma. 07 Maret 2016, Maria dinyatakan gagal dalam tes obat di
Australia Open 2016 karena ditemukan zat meldonium di dalam sampel dari hasil
pemeriksaannya pada 26 Januari 2016. Hal ini membuatnya diskors sementara dari
keikutsertaan di turnamen tenis oleh ITF (organisasi tenis internasional).
Kabar yang menyesakkan dan
mengecewakan memang. Terlebih lagi, dalam ajang tersebut Maria gagal tampil
sebagai pemenang. Serena Williams, seperti biasa, menjadi perintang. Perjumpaan
sedari dini dua bintang tersebut memaksa Maria harus legowo perjuangannya tumbang. Belum sembuh lara yang didera dari
Australia, ITF memaksa Maria berhenti menggelinjang.
Terlepas dari kontroversi meldonium, rekam
jejak kisah cinta Maria dengan raketnya tak dimungkiri sangat menakjubkan. Saat
dirinya undur diri, entah sejenak atau selamanya, penggemar tak henti menyampaikan
simpati, empati, bahkan kerinduan padanya. Rindu akan gelinjangannya saat
kembali memegang raket, merengkuh juara untuk kesekian kalinya, menebarkan
senyum manisnya.
Tidak banyak kemenangan
berhasil ditorehkan Maria Sharapova ketika menghadapi Serena Williams. Namun
dari yang tidak banyak itu, satu kemenangan saat keduanya berjumpa di final
Wimbledon 2004 menjadi pertandingan ikonik, untuk Maria, Serena, tenis, juga
olahraga.
Kemenangan yang segera
melejitkan namanya, memberi rasa gembira pada kedua orangtua yang telah lama
berpeluh membantu buah hati mewujudkan impian terdalam. Kemenangan yang membangkitkan
semangat Serena untuk waspada pada yesterday
afternoon sister, Maria Sharapova.
Dedikasi dan komitmen kedua
orangtua Maria Sharapova, Yuri Viktorovich Sharapov dan Yelena Sharapova, untuk
membantu buah hati semata wayang kulitnya luar biasa. Yelena
mengandung Maria ketika tinggal di Gomel, Belarus, di tengah bayangan bencana
nuklir Chernobyl 1986.
Sebagai usaha agar buah
hati mbrojol dengan selamat, sehat,
dan lengkap, Yelenda bersama suaminya memutuskan untuk pindah dari kawasan ini.
Mereka tak mau jabang bayi Maria terkena kanker dan radiasi dampak nuklir.
Satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka adalah untuk pindah ke bekas
ladang minyak di Siberia Barat.
Di sana, tepatnya di kota
industri yang suram bernama Nyagan, Maria memulai perjalanannya. Tepat pada 19
April 1987, buah hati pertama dan satu-satunya Yuri-Yelena lahir dengan diberi
nama Maria Yuryevna Sharapova
[Мари́я Ю́рьевна Шара́пова]. Sebagai kota industri,
tak banyak permukiman ada di kota ini. Yuri dan Yelena memutuskan tinggal di
sini pun lantaran desakan keterbatasan ekonomi.
Keadaan perekonomian keluarga
dan rumah tangga Yuri-Yelena memang jauh dari mewah. Yuri harus bekerja keras
untuk mencukupi kebutuhan harian sementara Yelena mengasuh Maria di rumah.
Tempat kerja Yuri di ladang minyak, Tyumen, memang tak jauh dari rumah. Hanya
saja termasuk lahan bekerja yang menyeramkan. Suhu udara bisa anjlok hingga
minus 40 derajat Celcius disertai kepungan asap beracun. Namun Yuri rela bekerja
dengan risiko tinggi lantaran bisa mendapat bayaran tinggi.
Ditumbuhkembangkan keadaan
seperti itu sejak lahir membentuk kepribadian Maria sebagai queen: memiliki sisi lemah lembut serta kuat
sekaligus. Sang bunda, Yelena, mendidiknya agar bisa menjadi wanita seutuhnya.
Sementara sang ayah, Yuri, melatih kekuatan fisik Maria. Sebagai puan, Maria
mudah menangis dalam pelukan orangtua terutama ayah serta sanggup membengkokkan
paku baja.
Sesudah empat tahun
tinggal di lingkungan brutal, Yuri berhasil mengumpulkan uang secukupnya untuk
pindah tempat tinggal lagi ke lingkungan yang lebih layak. Dia memboyong keluarganya
ke pemukiman sebelah selatan dekat Laut Hitam, Sochi, Krasnodar Krai, Rusia. Di tempat baru ini keluarga Yuri bisa menjalani keseharian dengan enak. Setidaknya
pekerjaan dan keseharian lainnya tak terlampau berbahaya.
Di tempat baru ini pula Maria mulai
menemukan panggilan nurani. Kebiasaan Maria nginthili ayahnya setiap hari membuahkan
satu kegemeran yang lantas ditekuni. Yuri dengan senang mengajak Maria bersama
dalam keseharian saat tak bekerja. Sesekali, Yuri gemar bermain tenis sebagai
ajang menjaga kebugaran. Yuri hanyalah recreational
tennis player alih-alih professional
tennis player, walakin kegemaran inilah yang berhasil diwariskan pada
Maria.
Yelena, Maria, dan Yuri |
Satu waktu, Maria nginthili ayahnya yang sedang bermain
bersama Yuri Yudkin, seorang pelatih tenis veteran. Maria hanya menunggu di
pinggir lapangan kala dua laki dewasa itu sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Merasa bosan menunggu sendirian tanpa diperhatikan, Maria mengambil raket tenis
dan bola untuk dimainkan di pinggir lapangan. Hal ini mengundang perhatian dua
laki dewasa ini.
“I
hit my first tennis ball on this court when I was 4 years old, so it definitely
holds a special place in my heart,”
ungkapnya beberapa hari jelang Olimpiade musim dingin di Sochi, tempat
bersejarah baginya, tempat perjuangan mewujudkan impian bermula.
Lebih dari sekedar
perhatian, permainan gadis manis berumur empat setengah tahun mengesankan mereka.
Bakat hebat dan minat kuat segera kentara oleh Yuri Yudkin yang telah lama
berpengalaman dalam menangani pemain.
Yudkin terpukau dengan cara Maria dalam mengolah informasi yang diperoleh dari
pandangannya untuk menyelaraskan gerakan tangan dan matanya. Dari sini Yudkin
berinisiatif agar kegemaran tenis Maria bukan cuma semata untuk main-main.
Keinginan Yudkin berbalas
dengan tanggapan bagus dari Maria. Sementara Yudkin siap melatih, Maria siap
dilatih olehnya. Berlatih bersama untuk sanggup berunjuk rasa melalui tenis
sedari dini. Saat kemauan kuat sudah dimiliki, segala tantangan, sumbatan,
maupun rintangan bukan hambatan berarti. Ketiadaan alat tenis yang layak untuk
dipakai Maria berhasil diakali. Maria mulai menekuni tenis dengan bermain
menggunakan raket tenis untuk ukuran orang tua dengan pegangan raket tersebut
digergaji.
“I was amazed that aged
four-and-a-half Maria was already intellectually mature. She absorbed
everything I told or showed her, and was an exceptionally quick learner. She
was a very smart girl, I never had to repeat instructions twice to her and she
could do a spin serve age seven. In the three years I worked with her she never
once told me she was tired.” sebut Yuri Yudkin terkait Maria.
Tak malam waktu merentang, keberuntungan
lain menghampiri Maria. Aleksandr Kafelnikov yang telah menjadin persahabatan
cinta yang tulus dengan Yuri Sharapova, meng-hibah-kan raket bekas anaknya untuk
Maria. Bagi Maria, raket bekas yang diterimanya pada 1991 merupakan barang
istimewa.
Anak Aleksandr
Kafelnikov yang bernama Yevgeny Aleksandrovich Kafelnikov merupakan petenis yang berhasil menorehkan sejarah untuk Rusia. Yevgeny merupakan pemenang
dua gelar Grand Slam serta menjadi petenis pertama asal Russia yang menempati
peringkat pertama dunia. Kemauan dan ketekunan yang
terfasilitasi membuat semangat Maria semakin menggelora.
Ketekunan yang ditunjukkan Maria meyakinkan
Yuri Yudkin bahwa puan cantik penggemar
Madonna bakal menjadi juara dunia. Sebagai pendorong,
Yuri Yudkin dan Yuri Sharapov sepakat mengajak
Maria jalan-jalan ke Moskow, ibu kota Rusia. Keduanya
mengajak Maria untuk menghadiri tennis
clinic yang melibatkan Martina Navrátilová
di sana.
Martina memberi pembinaan
serius untuk mereka yang hadir. Terlebih sebagai petenis top dunia, dia melihat Maria menampakkan bakat kentara. Keberanian
Maria meladeni permainan dengan puan yang lebih tua memberi kesan tersendiri. Petenis yang berkarier sejak 1975 ini
menyarankan pada Maria agar mengikuti pelatihan profesional di Nick Bollettieri Tennis Academy, Florida, Amerika
Serikat.
Martina berkata bahwa di
sana Maria bisa menerima pelatihan dan bimbingan yang bagus sebagai jalan
menjadi juara dunia. Nick
Bollettieri Tennis Acedemy yang saat itu sudah mulai dikelola oleh IMG Acedemy
merupakan sekolahnya petenis terkenal dunia seperti Andre Kirk Agassi, Monica
Seles, dan Anna Sergeyevna Kournikova. Saran Martina
ditanggapi serius oleh dua Yuri dan Maria.
Saat itu Yuri Sharapov
memang tak memiliki ongkos cukup, tetapi dia terus mengusahakan agar bisa membuka
jalan Maria menjadi juara dunia. Hingga setahun berlalu sesudah pertemuan itu,
Yuri belum sanggup mengumpulkan ongkos cukup, dia rela meminjam US$ 1000 pada
orangtuanya (kakek dan nenek Maria). Pinjaman tersebut hanya dipakai untuk melakukan
lawatan ke negeri Paman Sam serta mengongkosi kebutuhan saat tiba di sana.
Maria kemudian pergi ke Amerika
Serikat pada tahun 1994. Dia hanya bersama ayahnya yang lucunya tak ada satupun
dari kedunya bisa berbahasa Inggris. Setibanya di Florida, Yuri segera membawa
Maria ke akademi yang disarankan Martina. Sayang
lantaran usia Maria saat itu baru tujuh tahun, dia belum diperkenankan masuk di
akademi. Pengelola akademi menyatakan
bahwa Maria baru bisa masuk setahun lagi.
Dengan ongkos pas-pasan
(tersisa US$ 700), Yuri tak mau lawatan ke Amerika Serikat sia-sia. Rick Macci
Tennis Acedemy menjadi sekolah pilihan Yuri untuk menampung Maria sementara. Di
sana Maria mendapat bimbingan dan pelatihan langsung oleh Rick Macci. Guna
mencukupi kebutuhan harian, Yuri melakukan banyak pekerjaan, mulai pencuci piring
hingga pekerja konstruksi.
Walau keduanya sama-sama
berada di Amerika Serikat, Maria jarang menjumpai ayahnya. Kesibukan dengan pekerjaan
serta kegiatan Maria di akademi memaksa keduanya hanya sesekali berjumpa setiap
akhir pekan. Yuri menyebut masa-masa ini sebagai ‘a time of survival’ yang bagi Maria sangat berguna sebagai
pelatihan alami dalam bertahan melakoni keseharian.
“When I arrived in
America I was young, but I already knew what I wanted. I think that when you
start from nothing, when you come from nothing, it makes you hungry.” ungkap Maria saat menggambarkan
masa-masa ini, “My mother and
father taught me not to cry. Coming from an area devastated by a nuclear
disaster, I was brought up with the word perspective drummed into me. If I ever
complained to my father he would just tell me to get some perspective!” pungkasnya.
Dua tahun melalui
masa-masa sulit, Maria akhirnya bisa masuk di Nick Bollettieri Tennis Academy.
Rasa kecewa ditolak masuk setahun sebelumnya terbayar lunas dengan fullscholarship yang diberikan akademi. Kemampuan
yang ditunjukkan Maria saat didaftarkan membuatnya bisa mendapatkan anugerah
ini.
Yuri akhirnya kembali ke
Sochi, menjalani keseharian bersama belahan jiwa sesudah terpisah cukup lama.
Menyirnakan rindu pada belahan jiwa meski menumbuhkan rindu baru pada buah
hatinya. Rindu yang ditahan demi kirana terang yang didamba bersama.
Tinggal jauh dari
orangtua saat masih belia di tanah rantau, Maria menghadapi kesulitan dalam
menjalani keseharian. Dia memang mendapatkan beasiswa, hanya saja lingkungan
pertemanan tak membuatnya merasa nyaman. Maria ditempatkan di asrama bersama
anak-anak yang lebih tua darinya. Hal ini membuatnya kerap mendapat perilaku kejam
dan kasar dari mereka.
Ungkapan risakan kerap
diberikan bahkan sesekali ditantang berkelahi. Terlebih Maria belum bisa bercakap
lancar menggunakan bahasa setempat. Perjuangan untuk membaur dengan lingkungan
meninggalkan satu kesan tersendiri dari sini. Maria memang sulit mendapat
seorang sahabat.
“I never had the
experience of being around other kids every day, I was never in a normal
school, but it’s hard to miss something when you’ve never really had it.” tukas Maria akan hal ini.
Ketidaknyamanan lingkungan
membuat semangat Maria melipat. Saat berlatih tanding melawan anak-anak satu akademi
yang lebih tua, dia tak banyak mengalami masalah. Ketidaknyaman yang dirasakan
tak menggerus kemampuan yang justru semakin bagus. Maria biasa mengalahkan
lawan berusia empat belas tahun saat dirinya masih berumur sepuluh tahun.
“I’ve been playing
against older and stronger competition my whole life. It has made me a better
tennis player, and I’m able to play and win against this kind of level despite
their strength and experience.” kenangnya.
Kesulitan
lain masih dihadapi Maria saat itu. Perhatian yang kurang dari Yuri dan kepolosan
Maria membuat sang ayah harus bermasalah dengan pengelola akademi. Gara-garanya
setiap akhir
pekan Maria rajin main ke akademi milik
Rick Macci, tempat berlatihnya dulu. Maria merasa senang dengan lingkungan
di akademi yang pernah ditinggalinya ini.
Kebiasaan
tersebut menimbulkan benturan kepentingan bagi kedua belah pihak akademi. Pasalnya Bollettieri, akademi Maria, dikelola
secara resmi oleh IMG sedangkan akademinya Rick Macci dikelola tak resmi
oleh pemiliknya sendiri. Meski begitu, Maria masih mendapat kesempatan
belajar di Bollettieri.
Rick
Macci yang peduli dengan karier para pemula, segera menghubungi ayah Maria untuk
menyarankan agar buah hatinya dilatih lebih serius oleh Robert Lansdorp,
pelatih kawakan yang tinggal di Los Angeles. Yuri tak asing dengan nama pelatih
ini. Sekitar waktu itu, dia pernah menyaksikan di televisi saat Tracy Austin
dan Pete Sampras mengomentari groundshots luar biasa dari Lindsay
Davenport.
Tracy,
Pete, maupun Lindsay adalah sama-sama petenis polesan Robert yang dikenal
dengan semangat kerja dan pendekatan disipilin. Pete yang menanggapi tanggapan
Tracy dalam acara tersebut menambahkan, “If any of my kids want to learn
tennis, then Robert is the man I would send them to for groundshots – without
question.”
Berbekal
pengetahuan seadanya dari para petenis kawakan yang istimewa, Yuri menanggapi
serius saran dari Rick Macci. Dia segera menghubungi Robert Lansdrop agar
bersedia melihat permainan putrinya. Pertemuan selama dua jam pun segera diatur
oleh mereka. Keduanya sepakat mengadakan pertemuan tersebut di kediaman Robert,
Los Angeles, California. Hal ini memaksa Maria agar terbang seorang diri dari
Florida.
Robert
merekam dengan bagus saat dia pertama menjumpai Maria, “Her eyes nearly
popped out of her head when she saw the number of balls I had in my basket.”
Setelah Maria menampilkan unjuk kebolehan, Yuri bertanya pada Robert mengenai komentarnya
terhadap Maria. “She hits the ball pretty well but her concentration sucks,”
ungkap Robert menanggapi. Pertemuan yang rencananya hanya dua jam justru
mengalami kemuluran waktu hingga dua pekan.
Bagi
Robert, Maria adalah puan mengagumkan dengan anugerah istimewa. Anugerah melimpah
Maria membuatnya bingung untuk memutuskan Maria ketika bermain: dengan tangan kanan
atau kiri. Pasalnya setiap dicoba, Maria selalu bisa menunjukkan penampilan
mewanan dengan kedua tangan.
Setelah
melalui serentetan percobaan, Robert lalu menyarankan agar Maria menekuni
permainan dengan tangan kanan. Hal ini lantaran Robert melihat permainannya
Maria tampak lebih alami saat menggunakan tangan kanan. Saran yang terus digunakan oleh Maria kemudian.
Robert
dikenal sebagai pelatih yang jarang memuji penampilan anak asuhnya, walakin perlakuan
beda untuk Maria. Pesona permainannya sanggup meluluhkan Robert untuk menyatakan,
“She is a special player and a special person.” Sebagai pelatih yang menanangi
Maria, Robert juga memiliki hubungan bagus dengan Yuri. Keduanya tak pernah memiliki
masalah berarti.
Tangga pertama Maria dalam kejuaraan dunia
tenis dimulai pada November 2000. Dia ikut serta dalam kejuaraan bergengsi
Eddie Herr International Junior Tennis. Turnamen ini mulai diselenggarakan
sejak 1987 atas prakarsa Glenn Feldman, cucu Eddie Herr. Glenn memprakarsai
turnamen ini sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi kakeknya yang tak
diragukan lagi kepada para petenis junior. Eddie Herr bahkan dijuluki sebagai
‘bapaknya petenis junior’.
Kejuaraan tersebut berkembang hingga menjadi
kejuaraan paling diminati oleh pemain junior dari berbagai penjuru dunia. Agar
bisa ikut serta dalam kejuaraan yang berlangsung di Eddie Herr International
Bollettieri Sports Academy Bradenton, Florida, Amerika Serikat, seluruh peminat
harus mendaftarkan dirinya sebelum 02 Oktober 2000 dan pesertanya akan diumumkan
pada 06 November 2000.
Terdapat empat kelas yang dibuka: 12,
14, 16, dan 18 tahun. Kelas 12 tahun langsung dibuka dengan babak utama yang
dilangsungkan pada 25-30 November 2000. Sedangkan tiga kelas lainnya dimulai
dari babak kualifikasi pada 24-26 November 2000 dan baru masuk babak utama pada
27 November-03 Desember 2000.
Saat mengikuti kejuaraan ini, Maria
baru menginjak usia 13 tahun 7 bulan. Dia masih bisa diterima berlaga di kelas
14 tahun. Namun Maria justru mendaftarkan dirinya sebagai peserta di kelas 16
tahun. Hebatnya, dia berhasil merengkuh gelar juara di kelas tersebut. Gelar
juara di kelas yang lain ternyata juga diraih oleh petenis yang berasal dari
Rusia, Katia Afinogenova di kelas 14 tahun, dan Alisa Kleybanova di kelas 12
tahun.
Petenis Rusia saat itu menguasai
kejuaraan cabang putri. Hanya di kelas 18 tahun gelar juara harus jatuh pada petenis
negeri lain, Edina Gallovits, petenis asal Rumania. Maria, dengan usianya yang
masih belia untuk berlaga di kelasnya mendapat gelar tambahan berupa Rising Star Award. Gelar yang hanya
diterima oleh beberapa peserta dengan persyaratan tertentu.
Sesudah usianya genap 14 tahun pada
19 April 2001, Maria melakukan ‘salto’ karier dengan mengikuti kejuaraan
tingkat senior (profesional) di $75,000 Bradenton. Kejuaraan tersebut
diselenggarakan di Bradenton, Amerika Serikat pada 23-29 April 2001.
Pertarungan di arena outdoor tanah liat ini memperebutkan hadiah sejumlah
$75,000. Kelas tunggal dan ganda dibuka pada kejuaraan ini, namun Maria hanya
berlaga di kelas tunggal.
Sayangnya langkah Maria langsung
terhenti pada laga pertama di babak 32 besar oleh Karin Miller. Setelah sempat
menang dalam pertarungan alot di set pertama
dengan angka 7-6 (2), Maria gagal mempertahankan keunggulan. Dia dihempaskan
Karin di dua set berikutnya dengan
angka sama, 6-4. Ini adalah satu-satunya pertemuan Maria dan Karin sepanjang karier
keduanya dan $75,000 Bradenton pun menjadi satu-satunya kejuaraan senior yang
dia ikuti di tahun 2001.
Sambil merangkak di turnamen senior, Maria
juga ikut serta dalam turnamen junior lantaran masih belum saatnya dia melaju
hingga tangga juara jika bermain di turnamen senior. Dia pun tahu diri, ngoyo bermain di turnamen senior saja
justru akan mengurangi jam terbangnya. Dia tak mau kehilangan kesempatan
mengasah permainan, tak peduli tingkat senior atau bukan.
Kejuaraan Ex Pilsen menjadi ajang pertamanya
di tingkat junior. Kejuaraan ini diselenggarakan di arena outdoor tanah liat TK
Slavia Pilsner Urquell, Plzen, Republik Ceko, pada 23 Juli - 24 Juli 2001.
Cabang tunggal dan ganda dibuka pada kejuaraan dengan Grade 3 ini: Grade A
untuk kejuaraan Grand Slam dan lima kejuaraan lainnya (Abierto Juvenil
Mexicano, Copa Gerdau, Italian Open, Osaka Mayor's Cup and Orange Bowl), Grades
1-5, dan Grade B (kejuaraan regional). Maria hanya turun di cabang tunggal pada
kejuaraan ini.
Langkahnya dimulai sejak babak
kualifikasi. Tiga laga dalam babak kualifikasi berhasil dia sapu bersih.
Mengalahkan Eliska Krausova (6-0; 6-1) pada kualifikasi ketiga, Vendula
Vystrkova (6-0; 6-1) pada kualifikasi kedua, dan Mia Kurek (7-5; 7-5) pada
kualifikasi pertama. Tak sampai di sini saja, laju Maria di babak utama pun tak
terbendung.
Lima petenis berhasil dia hempaskan
sejak 32 besar hingga final. Mulai dari Sandra Zahlavova (6-2; 6-3), Eva
Hrdinova (6-4; 6-4), Michaela Michalkova (6-0; 4-1 –dihentikan setelah Michaela
cedera), Ema Janaskova (6-2; 6-1), hingga Aurelija Miseviciute (6-1; 6-1).
Kemenangan atas Aurelija Miseviciute menobatkan Maria sebagai juara.
Empat kejuaraan Grand Slam tingkat
junior mulai diikuti Maria. Mulai dari US Open pada tahun 2001. Sesudah menang
di babak 64 besar, dia harus rela langkahnya terhenti di babak 32 besar. Kegagalan
di US Open tak menyirnakan semangatnya. Maria bangkit di Grand Slam
selanjutnya, Australia Open, yang diikuti pada tahun 2002. Walau lajunya tak
sanggup dihentikan lawan hingga melenggang ke final, Maria harus menerima
kenyataan gagal meraih juara.
Di final yang mempertemukan dua gadis
Aries ini Maria harus mengakui keunggulan Barbora Strýcová. Maria takluk dua set langsung (6-0, 7-5). Dia harus
lapang dada menyaksikan petenis yang 1 tahun 22 hari lebih tua darinya
dinobatkan sebagai juara. Walau gagal menobatkan dirinya menjadi juara, Maria
memperoleh gelar hiburan sebagai finalis termuda sepanjang masa karena saat
bermain di final tersebut usia Maria baru 14 tahun 9 bulan.
Maria kembali ikut serta dalam
kejuaraan Grand Slam tingkat junior di French Open. Setelah hanya melaju hingga
babak 32 besar di US Open, berhasil menjadi finalis di Australia Open, Maria
justru tersungkur di babak 16 besar. Dia hanya berhasil menang dua kali saja,
di babak 64 dan 32 besar.
Catatan tersebut lebih baik ketimbang
prestasinya di US Open 2001, namun tak menyamai pencapaiannya Australia Open
2002. Penampilannya kalah cemerlang ketimbang petenis Indonesia, Angelique
Widjaja, yang menjuarai turnamen ini. Angelique Widjaja dinobatkan sebagai
juara setelah berhasil mengatasi perlawanan ketat Ashley Harkleroad (3-6, 6-1,
6-4).
Kejuaraan Grand Slam tingkat junior
terakhir yang diikuti Maria adalah Wimbledon. Ini sekaligus menjadi laga
pamungkasnya di tingkat junior. Terus menggerus lawan dari babak 64 besar
hingga final, Maria mengulangi nasibnya di Australia Open. Maria sempat unggul
6-4 di set pertama saat berhadapan
dengan sesama petenis Rusia, Vera Yevgenyevna Dushevina. Sial, dua set berikutnya dia gagal memberikan
perlawanan hingga dipaksa menyerah 6-1 dan 6-2. Petenis berzodiak Aries ini pun
harus gigit jari menyaksikan gadis Libra menerima cakram juara.
Januari 2002, Maria semakin
mempesona. Dia berhasil menjadi puan termuda yang pernah mencapai babak final kejuaraan
junior Australian Open. Kala itu umurnya baru 14 tahun 9 bulan. Dua bulan
merentang, namanya masuk ke deretan peringkat dunia junior dengan menempati
urutan ke-535.
Tahun 2002 juga dia berhasil
mencatatkan prestasinya sebagai runner-up
kejuaraan junior Wimbledon. Segala daya dan upayanya sepanjang tahun itu
berhasil mengangkat peringkatnya. Akhir tahun 2002, Maria menempati ururan ke-183,
naik 352 tingkat. Bermodalkan rekam jejak menawan, Maria mulai bermain dua
sisi setahun berikutnya.
Maria mulai unjuk kebolehan
di tingkat senior melalui kejuaraan WTA tour. Selain itu, dia juga terus
menambah pengalaman dengan tetap bermain di tingkat junior. Prestasi di tingkat
senior belum tampak wah, walakin di tingkat junior Maria berhasil menjuarai
Australian Open.
Maria perlahan menapaki
peringkat untuk lebih tinggi. Pertengahan tahun, Juni, Maria berhasil menembus
jajaran peringkat 100 besar. Enam bulan berselang, di akhir tahun, dia menahbiskan
dirinya berada di peringkat ke-32. Peringkat terakhir yang menjadi modalnya
untuk yakin diri melangkah ke tingkat senior.
Selama berkarier di tingkat junior, Maria
berhasil membukukan 47 kemenangan dari 56 pertandingan yang dilakoninya.
Tercatat dia ikut serta dalam 12 kejuaraan dengan tampil di delapan kali di
pertandingan final.
Sayang hanya tiga kali saja dia berhasil
merengkuh gelar juara, di kejuaran Ex Pilsen serta Chanda Rubin American ITF
Junior Circuit di California dan South Carolina. Hal ini membawanya menempati
peringkat keenam pada 21 Oktober 2002, peringkat tertinggi yang pernah dia tempati
sepanjang karier junior.
Sementara di tingkat senior cabang
tunggal, Maria hanya sekali berlaga pada tahun 2001 yang berakhir kekalahan
(0-1). Sedangkan di tahun 2002, di berhasil membukukan 28 kemenangan dari 33
laga yang dilakoninya. Ironisnya, 2 dari 5 kekalahan dideritanya di
pertandingan final.
Walau di cabang tunggal Maria berhasil
membukukan catatan lumayan marem, di cabang ganda Maria justru melempem. Dia hanya
berhasil melakoni tiga laga di cabang ganda putri: dua laga bersama Gisela Dulko
ketika di Indian Wells (menang dan kalah masing-masing sekali) serta sekali
bertandem dengan Maria Kirilenko yang hanya sekali berlaga (kalah).
Maria tercatat ikut serta dalam 10
kejuaraan senior sepanjang 2001 hingga 2002 dengan tampil lima kali di
pertandingan final. Dari kelimanya, Maria terpaksa gagal menggenggam juara di
kejuaraan $25,000 Frisco dan $50,000 Pittsburgh. Maria hanya bisa menobatkan
juara di kejuaraan $10,000 Gunma, $25,000 Vancouver, dan $25,000 Peachtree
City, GA. Hal ini membawanya menempati peringkat 186 pada klasemen akhir tahun
2002.
Peringkat 186 dibawanya sebagai modal
untuk memantapkan dirinya meninggalkan tingkat junior dan menekuni tingkat
senior mulai 2003. Maria sudah tak lagi berkiprah di tingkat junior saat
usianya belum genap 16 tahun. Hingga akhir tahun 2002, selain keelokan
parasnya, petenis yang menggemari fesyen, membaca, menari, dan mengoleksi
perangko ini mulai dipandang kemampuannya.
Langkah Maria bertanding
di tingkat senior tetap disertai peningkatan penampilan yang membuatnya tak
begitu saja ndelesor. Malah hanya
dalam jangka waktu lima bulan, Maria berhasil menembus jajaran peringkat 20
besar senior. Dua bulan berselang, Maria menghentak khalayak.
Penampilannya di
Wimbledon membuat banyak mata terbelalak. Memulai kejuaraan ini dengan semat
unggulan ke-13, Maria berhasil membuat perjuangan Serena Williams meraih hat-trick Wimbledon kandas. Selain
mengangkat martabat, juga meningkatkan peringkat. Maria berhasil menempati
peringkat keempat.
Menjadi satu kewajaran
saat penampilan menawan menimbulkan keinginan dibandingkan. Maria pun demikian.
Penampilan menawannya mengundang decak kagum yang membuatnya meraih semat
sebagai pelanjut Anna Kournikova, sesama petenis asal Rusia. Namun Maria dengan
tegas menolak semat ini dengan mengungkapkan, “I'm not the next anyone, I'm the first Maria Sharapova.” Satu ungkapan
yang kemudian mengubah sematnya menjadi Maria
Sharapova is not the next anyone.
Bakat hebat, dukungan
penuh kedua orangtua, hubungan harmonis orangtua, ketekunan saat berlatih, kepedulian
lingkungan tempatnya tumbuh-kembang, berpadu dengan semangat kuat untuk meraih
impian sebagai petenis dunia. Impian untuk menahbiskan diri sebagai Maria
Sharapova, yang pertama dan satu-satunya.
Maria merasa beruntung
saat di Bollettieri fisiknya dilatih keras setiap hari selama empat jam. Hal
ini memberinya kemampuan untuk bersaing secara fisik dalam pertarungan meraih
mahkota kejuaraan. “She is extremely strict, disciplined and a
perfectionist. She plays tennis like she’s preparing for an attack, a battle.
Every shot has a purpose. She runs for every single ball, there’s no monkey
business, she will smile but it’s a bloody damn business.” ungkap salah satu pelatih Maria saat
di Bollettieri.
Agustus 2005, saat
usianya belum genap 20 tahun, Maria berhasil menahbiskan namanya di urutan
teratas peringkat dunia. Satu impian yang dipendam sejak lama. “If you don’t
want to be number one in the world then why even start?” tegasnya. Satu waktu, Maria menyatakan,
“Why
would you want to be number 20, and then when you get to number 20 it’s like
you don’t want to be number one, you know? It’s like shoot for the moon, if you
miss, you’ll still be amongst the stars, so why not want to become number one?”
Tracy
Austin, yang mengetahui dengan bagus perjuangan Maria berserta ayahnya, mengungkapkan testimoni
terhadapnya. “Some kids have it easy, you have to ask where the drive is coming from.
But Maria’s background has definitely contributed to her determination on
court. Talk about having a will and drive to win!”
Karier Maria dalam dunia
tenis berjalan konsisten. Bekapan cedera yang memaksanya menepi, rasa lara kala
gagal mengandaskan lawan, serta ragam macam cacian dan sanjungan, dihadapinya
dengan baik. Paras cantiknya mempesona, walakin dia lebih berhasrat pada tenis ketimbang
menata parasnya semakin manis.
Sanjungan tak membuatnya
melayang. Begitu juga cibiran tak membuatnya tumbang. Maria
tetaplah Maria. Seorang penghibur yang membuat orang lain gembira. Kehadirannya
Maria selalu dirindukan. Tak peduli dengan kesannya kini yang cemar, namanya masih
terus dielu-elukan.
B.Sl.Pa.030138.50.041016.16:30