— Pesona Kirana Lama Bangsa-Bangsa Asia
Terdapat dua masa tradisi ilmiah
bergelora. Gelora yang membawa perkembangan ilmu menguat. Tahap pertama berawal
dari Sumeria (kira-kira 3000 SM). Tahap pertama ini memiliki cakupan wilayah
luas dan dalam jangka waktu lama. Perkembangan tahap pertama berlanjut hingga
ke Babilonia dan Mesir. Bahkan pada saat yang sama, juga terjadi di Amerika
Tengah (Aztec, Maya).
Tahap kedua berlangsung di daerah
yang jauh dari wilayah Mesopotamia, tepatnya di kawasan Eropa Utara. Tahap ini
memiliki cakupan wilayah yang sempit dan jangka waktunya lebih singkat.
Permulaan tahap kedua ditandai dengan semangat Revolusi Ilmiah dan berlangsung
kira-kira selama 400 tahun.
Tradisi ilmiah tahap pertama banyak
bermula di kawasan yang sekarang disebut Timur Tengah. Tradisi ilmiah yang
berkembang di daratan Timur Tengah tersebut juga berkembang di Tiongkok selama
ribuan tahun. Di wilayah India, terutama sekitar Lembah Indus, juga terjadi hal
serupa. Baru kemudian beberapa abad sebelum Masehi dimulai peradaban Yunani
yang cikal bakalnya bermula di Ionia. Sekarang Ionia berada di wilayah Turki.
Belum bisa dipastikan apakah Yunani
menggunakan istilah teknis ilmiah dari kebudayaan daratan Asia yang telah ada
sebelumnya. Yang dapat ditelusuri dengan bagus ialah peradaban Yunani kemudian
memudar sesudah kekalahan mereka dalam peperangan dan beberapa faktor lainnya.
Pudarnya pesona Yunani disusul dengan kembali menguatnya tradisi ilmiah di
Timur Tengah. Pada saat tersebut, Eropa bagian utara masih banyak tinggal di
rimba-belantara.
Kelindan Rasa Keingintahuan dan Acara
Keagamaan
Kebudayaan Mesopotamia (sekarang
Iran-Irak) sudah lama mengembangkan matematika. Kebudayaan yang bisa dibagi ke
dalam dua zaman, Sumeria (3000 SM-2000 SM) dan Babilonia (2000 SM-500 SM), ini
sudah bisa melakukan operasi perkalian, mencari akar kuadrat dan kubik, serta
merampungkan persoalan persamaan linear.
Kebudayaan Sumeria, yang lebih dahulu
dominan di kawasan itu, pernah menggunakan sistem bilangan desimal (berdasarkan
angka 10) sekitar setengah milenium sebelum beralih ke sistem bilangan
seksagesimal (bilangan berdasarkan angka 60). Sistem seksagesimal juga dipakai
di Tiongkok.
Selain matematika, astronomi juga
mulai berkembang. Pengamatan benda-benda langit mulai berjalan sejak 1000 SM
dan cara pengamatan semakin bagus sejak 700 SM. Dari hasil pengamatan mereka
bisa meramalkan peristiwa periodik alam semacam gerhana Bulan (setiap 18 tahun
sekali) dan peredaran planet, seperti Venus. Sejumlah nama rasi bintang yang
dipakai sekarang berasal dari hasil budaya daratan Mesopotamia ini.
Kegiatan ilmiah di kawasan Timur
Tengah kala itu bukan hanya terkait intelektual walakin ritual. Keperluan agama
kala ‘fajar peradaban’ banyak bergantung pada astrologi. Mereka yakin bahwa
pergerakan benda-benda langit berperan pada kehidupan di planet Bumi, mulai
dari penobatan raja baru hingga daur proses pertanian. Dengan ungkapan lain,
orang perlu mengetahui gerak benda-benda langit untuk memahami keseharian di
planet Bumi. Hal seperti ini juga terjadi di wilayah lain, termasuk Tiongkok.
Masa Jaya Barata
Perkembangan ilmu di India pada
akhirnya mendapat pengaruh kuat dari peradaban Yunani. Pengaruh ini didapatkan
setelah wilayah Anak Benua ini berhasil dibabat oleh pasukan Iskandar al-Akbar
(Alexander Agung). Namun peradaban India sebenarnya sudah berkembang jauh
sebelumnya.
Di wilayah sekitar Lembah Indus (kini
masuk Pakistan), sudah berlangsung peradaban kira-kira sejak 3000 SM. Satu
milenium kemudian peradaban kebudayaan wilayah ini punah. Saat peradaban ini
padam, Yunani masih temaram.
Karya agung dari masa ini antara lain
Veda, Bhagavad Gita, serta Upanishad. Dari peninggalan
ini, terdapat tanda-tanda yang menunjukkan mereka telah memakai sistem bilangan
desimal. Kaidah yang serupa dengan ‘dalil Pythagoras’ juga sudah dikenal.
Kaidah ini sudah digunakan untuk menentukan ukuran altar jauh sebelum
Pythagoras menemukan kaidah untuk menghitung sisi panjang segitiga siku-siku
ini. Benar atau salah dalil tersebut ditemukan Pythagoras bukan urusan.
Kepercayaan Hindu yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu yang tampak hanya maya belaka sepertinya berpengaruh kuat
terhadap Veda. Dampaknya mereka kurang bergairah mengamati langit dengan
seksama. Mereka tak peduli dengan pergeseran posisi planet terhadap bintang
sepanjang waktu. Benda-benda langit disangka semu. Untuk apa mengamati hal yang
semua dengan seksama? Wajar jika di dalam Veda tak ditemukan tanda-tanda
bahwa mereka telah mengenal planet.
Peradaban ini kemudian punah satu
milenium kemudian. Peradaban ilmiah yang sebelumnya punah, kembali dihidupkan
beberapa abad setelahnya. India menjadi korban keganasan Iskandar al-Akbar dari
Yunani. Setelah membabat Timur Tengah, pasukan dari Yunani ini menyerbu India
pada 327 SM. Penyerbuan ini memiliki banyak dampak, antara lain kembali menyalanya
peradaban ilmiah di India.
Tak cuma kembali menyala, juga terjadi
perubahan pandangan radikal terkait langit. Jika sebelumnya tak ada perhatian
sama sekali terhadap langit, kini justru mereka mengembangkan astronomi dari
ilmuwan Yunani. Varahamihira, sekitar 505 M, menulis tentang bola dan lingkaran
di langit yang sistemanya mirip dengan sistem yang dulunya pernah dikembangkan
di Yunani.
Hubungan India saat itu tak hanya
dengan Yunani saja. Sejak abad ke-2 mereka memiliki hubungan mesra dengan
tetangga, Tiongkok. Hubungan ini terjalin berkat misionaris Buddha yang pergi
ke sana. Ada upaya di laboratorium India untuk menemukan ramuan hidup kekal
sebagaimana terjadi di Tiongkok (dan juga Eropa).
Di India ramuan dalam bidang kimia
ini dihubungkan dengan pembuatan emas, yaitu dengan mencampur air raksa dan
belerang. Kedua unsur ini mencerminkan ke-manunggal-an sifat kelakian
dan kepuanan. Tak bisa disangkal, ilmu alam dan ilmu sihir masih berkelindan di
masa ini.
Matematika menjadi kekuatan utama
India. Mereka berhasil menyumbangkan penemuan paling mengesankan berupa
bilangan nol. Selain itu, mereka juga turut berperan dalam pengembangan sistem
bilangan desimal yang kini biasa digunakan. Persamaan aljabar umum yang cukup
rumit juga berhasil dikuasai. Aryabhatta (475-550 M) tercatat sebagai pengguna
sinus sudut untuk kali pertama.
Gelora Bangsa-Bangsa Naga
Tiongkok lebih dulu mengawali
perkembangan terknologi ketimbang Eropa atau daerah lainnya. Mereka sudah bisa
membikin kertas (abad ke-2), tembikar yang bagus dan mesiu (abad ke-7),
percetakan (dikembangkan sejak abad ke-9 hingga ke-15), menerapkan mesiu ke
dalam senapan (abad ke-13), serta meriam besi (abad ke-14).
Sayangnya, masyarakat Tiongkok kala
itu tak pernah memberi apresiasi tinggi terhadap hasil karya indra. Hal ini
menyumbat pertemuan gagasan antara cendekiawan dan insinyur. Bisa jadi hal ini
terkait lemahnya semangat perdagangan dan berkarya komersial, terbalik dengan
Eropa pada masa Renaisans, dengan tradisi berkarya komersial.
Tak ada juga dorongan untuk menemukan
‘cara paling bagus’ untuk setiap permasalahan. Teknologi yang maju tak bisa
berpadu dengan ilmu untuk sama-sama berkembang lebih maju. Kondisi sosial
masyarakat setempat kurang mendukung perpaduan itu. Walapun tak begitu kuat,
ilmu tetap muncul di Tiongkok, dan bukan hanya bersifat spekulatif semata.
Penguasa memiliki peran penting di
sini, yang berperan sebagai penentu sistem penanggalan. Sistem penanggalan
tersebut dipakai untuk menunjukkan hari-hari berlangsung upacara resmi.
Hari-hari yang dipilih adalah hari yang diyakini bertuah. Di berbagai tempat
masa lampau, astronomi memang berkelindan dengan astrologi. Dua hal ini baru
bisa dipisahkan di Eropa pada abad ke-17.
Catatan pengamatan terhadap langit
sudah mulai dibuat dengan rapi dan rinci. Fenomena gerhana mulai dicatat pada
1500 SM serta kehadiran komet pada 700 SM. Pada 350 SM, Syi Syen, melakukan
pemetaan langit. Pemetaan langit ini mencakup sebanyak 800-an bintang. Jika
Eropa baru pada abad 17 M menggunakan sistem penentuan kedudukan benda langit
dalam satu kerangka acuan berdasarkan Bintang Kutub Utara, Tiongkok sudah bisa
menggunakannya di masa ini.
Tak hanya sampai di situ saja. Hu
Shi, pada 336 SM, berhasil menemukan fenomena ‘presesi ekuinox’ yang sampai
sekarang masih menjadi pembahasan rumit. Perubahan poros rotasi Bumi terhadap
garis edar Matahari (mirip seperti perubahan sumbu putar pada gasing). Bumi
memerlukan 26.000 tahun untuk menggenapi satu putaran. Hasil pengamatan langit
oleh ahli astronomi negeri Tirai Bambu ini dicatat dalam bentuk aljabar,
berbeda dengan Yunani yang lebih gemar dengan bentuk geometri.
Sayangnya, pengamat di Tiongkok
kurang mendapat apresiasi dan cenderung dipandang sebelah mata oleh para
pemikir. Konsep alam semesta di Tiongkok tak dirumuskan oleh para ahli
astronomi yang gemar mengamati walakin oleh para filsuf yang kerap
berspekulasi. Inilah yang membikin mereka tak sampai mengembangkan semacam
gambaran tentang struktur alam semesta berdasarkan pengamatan.
Kebiasaan di Tiongkok ini jelas
terbalik dengan kebiasaan di Yunani. Ptolomeus dan rekan-rekannya, misalnya,
dalam menyusun model alam semesta berbentuk bola, menggunakan data yang mereka
miliki sebagai dasarnya. Orang Tiongkok tampaknya kurang gemar berpikir secara
geometris.
Tiga bentuk alam semesta dikenal pada
masa dinasti Han berkuasa (202 SM-220 M). Pertama, alam semesta Ka Thien yang
menggambarkan langit sebagai setengah bola yang terangkat 80.000 li (40.000 km)
dari Bumi dengan bentuk mangkuk terbalik. Kedua, alam semesta Hun Thien yang
menggambarkan seluruh alam semesta seperti bola yang lebih besar lagi dengan
garis tengah 2 juta li (1 juta km). Ketiga, alam semesta Hsuan Yeh yang
menyatakan bahwa alam semesta tak terhingga besarnya, tak berbentuk, dan
seluruhnya kosong. Pandangan ketiga sudah mendekati pengertian terkini alam
semesta, hanya saja disusun bukan berdasarkan data. Menarik ataukah ironis?
Jembatan Keledai Hebat Cepat Sekarat
Sebenarnya di masa itu sudah ada
kelompok yang bisa menjembatani jurang kesenjangan antara cendekiawan dengan
insinyur dan pengamat. Kesenjangan ini memang menyebabkan ilmu di Tiongkok
sulit berkembang. Selain itu, juga terdapat sumbatan berupa kebiasaan acuh
terhadap keadaan alam sekitar.
Dua kelompok tersebut disebut Mohis
dan Taois. Sayangnya keduanya bernasib sama. Kelompok mereka segera dikucilkan
dari pergaulan serta tradisi mereka tak terlantan hingga kemudian punah. Hasil
unjuk karya mereka yang bisa menjadi ‘jembatan keledai’ pun gagal dilestarikan.
Kelompok Mohis adalah pengikut Mo Ti
yang hidup selama periode Warring States (Negeri Berperang, 480-221 SM).
Watak mereka sebagai ksatria dan diplomat dikenal luas. Motivasi mereka untuk
menekuni filsafat ilmu ialah agar bisa memahami cara manusia dapat mendapatkan
pengetahuan yang pasti tentang alam semesta.
Kelompok Mohis sudah mulai
mengembangkan tradisi eksperimen. Misalnya ekperimen dengan katrol, serta
cermin datar dan lengkung. Sayangnya tradisi eksperimen yang mulai mereka
kembangkan tak mendapat apresiasi menawan. Tak begitu lama kemudian, tradisi
yang menjadi cara pandang baru di masa Renaisans ini pun punah.
Kelompok Taois muncul pada masa
Wangsa Han menguasai Tiongkok (202 SM-220 M). Kelompok ini sama-sama mulai
mengembangkan tradisi eksperimen seperti halnya kelompok Mohis. Hanya saja
kelompok ini cenderung ke ranah kimia alih-alih fisika.
Serupa dengan eksperimen kimia yang
berkembang di India, mereka berupaya membuat emas dari air raksa dan belerang
guna meracik jamu hidup kekal. Upaya ini didorong oleh filosofi mereka tentang Yin
(mewakili asas puan, gelap, dan dingin) dan Yang (mewakili asas laki,
terang, dan panas).
Terdapat lima unsur dasar yang mereka
percaya: air, api, kayu, logam, dan tanah. Kelima unsur ini sepertinya dikembangkan
terpisah dari orang Yunani yang percaya pada empat unsur dasar: air, api,
udara, dan tanah.
Di satu sisi kepercayaan ini
mendukung pengembangan ilmu alam karena menampakkan keyakinan bahwa alam
semesta memiliki keteraturan. Tapi di sisi lain, ketika keyakinan ini dipegang
sangat kuat, berdampak mematikan ilmu lantaran belakangan diketahui ada yang
lebih mendasar lagi.
Kelompok Taois memiliki sikap skeptis
terhadap anggapan manusia tentang proses-proses alamiah. Dari sini mereka
banyak menekuni hal-hal bersifat praktis. Sayangnya mereka memiliki rekam jejak
permusuhan dengan Konfusianis yang menjadi karibnya penguasa negeri. Selain
itu, mereka juga terkucilkan dari pergaulan sosial masyarakat. Lamat-lamat
malar tradisi Taois merosot hingga pudar.
Barangkali jika kelompok Mohis
(dengan keunggulan logikanya) dan Taois (dengan keunggulan eksperimennya) bisa
terus bersama dalam jangka waktu lebih lama, kita bisa menyaksikan gelora
Revolusi Ilmiah terjadi di Tiongkok saat Yunani sedang sibuk dengan Konsili
Nicea yang penuh cekcok.
Sumbatan Kebiasaan
Bisa jadi mungkret-nya
perkembangan ilmu di Tiongkok banyak disebabkan oleh cara berpikir mereka yang
lebih menghargai sifat (kualitas) daripada besaran (kuantitas). Tampaknya
mereka bukan penganut keyakinan terhadap Khalik Esa sehingga tak percaya bahwa
hanya ada satu hukum alam yang mengatur segalanya.
Masyarakat Tiongkok tampaknya tidak
ingin tahu tentang permasalahan alam sekitar. Contoh paling bagus adalah
permasalahan mekanika gerak, yang menjadi landasan setiap cabang ilmu alam.
Mereka kurang perhatian terhadap permasalahan ini meski mereka tentu pernah
melihat benda jatuh. Kosok bali dengan Yunani dan kemudian Eropa Utara yang
menjadikan masalah mekanika gerak ini sebagai salah satu obsesi keilmuan.
Hanya saja kekuatan Tiongkok kuno pada matematika tak
jauh beda dengan Eropa pada abad ke-16. Kekuatan matematika Tiongkok kuno
terletak pada aljabar. Mereka sudah memakai bilangan negatif jauh sebelum
kebudayaan lain. Hanya saja bilangan nol bukan mereka yang menemukan. Kalaupun
bilangan nol dipakai, kuat duga diambil dari India.
Kekuatan aljabar tak dilengkapi dengan logika. Tiongkok
kuno cenderung lemah dalam logika. Mereka tak memiliki satu set kaidah logika
seperti dipunya Yunani. Hal ini membikin mereka kurang kukuh dalam berpikir
sistematis dan analitis.
Mungkin mereka tak suka dengan upaya memecah-belah dunia
walau dalam pikiran saja. Mereka jua tampak tak menerima jika manusia tersusun
atas beragam unsur tanpa jiwa.
Nyali Amarah Demi Muruah
Kelompok-kelompok di Timur Tengah
dikenal memiliki sifat mudah marah dan gemar berjuang menegakkan muruah. Mereka
juga gemar bertempur untuk memperebutkan kuasa terhadap tanah. Hal ini terus
terjadi sepanjang zaman bahkan saat kawasan ini menjadi lentera budaya ilmiah.
Kembalinya budaya ilmiah ke kawasan
Mesopotamia ini dimulai dari Damaskus (sekarang Suriah). Damaskus menjadi pusat
kekuasaan Dinasti Umayyah. Di sana geliat astronomi mulai tercurah. Sejak 700
M, selama setengah abad, para ahli gemar menekuni astronomi. Sayang, kecamuk
perang berdampak pada sulitnya ilmu berkembang.
Dinasti Umayyah kemudian digantikan
dengan Dinasti Abbasiyah melalui serentetan pertumpahan darah. Tak hanya
perubahan wangsa penguasa, juga terjadi peralihan pusat kekuasaan. Dari
Damaskus pindah ke Baghdad. Baghdad memiliki letak geografis yang strategis dan
bersifat terbuka dengan hasil unjuk kerja manusia dari luar wilayah dan
etnisnya.
Keterbukaan ini membawa pengaruh
India ikut serta memberi warna. India banyak memengaruhi sistem bilangan. Selain
India, Yunani juga turut memengaruhi. Pengaruh Yunani banyak dimulai dari
alihbahasa karya ke dalam bahasa setempat. Alihbahasa karya Galen dalam bidang
kedokteran, misalnya, yang dilakukan oleh Hunayn Ibn Ishaq (808-873 M), seorang
Kristen Nestorian. Dari alihbahasa ini kemudian ilmu dikembangkan.
Baghdad dikenal pernah memiliki
observatorium besar. Observatorium ini menggunakan kaidah yang diambil dari
Mesopotamia. Hasil pengamatan dari observatorium ini belakangan diketahui lebih
teliti ketimbang hasil pengamatan Ptolemeus, ahli astronomi yang tetap
berpengaruh kuat masa itu.
Perang memang tampak mengerikan
walakin tak selalu menghancurkan. Alihbahasa karya Yunani ini pun bermula dari
peperangan. Kala pasukan Dinasti Abbasiyah berhasil menggempur Yunani di
kawasan timur Laut Tengah, penggempuran itu membawa mereka menemukan buku-buku
kuno yang mengagumkan. Dari penggempuran itulah meski mereka tampak membikin
Yunani musnah, namun pengetahuan Yunani berhasil diselematkan dari kepunahan. Perang
bisa menjadi jalan perubahan pengetahuan yang mengagumkan.
Pertukaran budaya melalui jalan
perang pun terjadi. Laskar Mongol yang dipimpin Genghis Khan (1167-1227 M)
dikenal memiliki gelora perang yang membara dan sering menang. Mereka berhasil
membabat habis Dinasti Abbasiyah yang kala itu sudah mulai melemah.
Selain membabat habis dinasti ini,
Laskar Mongol juga membuka jalur perjalanan Tiongkok-Eropa. Jalur inilah yang
kemudian dimanfaatkan Marco Polo (1254-1324 M) untuk membawa beragam hasil
unjuk karya bangsa-bangsa Asia ke Eropa. Mulai dari mesiu, percetakan, pijakan
kaki saat menunggangi kuda, hingga gerobak roda-satu.
Penemuan uang kertas di Asia Tengah
yang memperlihatkan unsur huruf Tiongkok dan Timur Tengah menegaskan adanya
persilangan budaya dari tempat yang jauh terpisah –yang didorong oleh peristiwa
peperangan.
Benang Merah Sepanjang Sejarah
Kebudayaan Asia yang dipaparkan tak
satu pun berhasil mencapai ilmu modern. Meski demikian beberapa hal yang
didapatkan bisa dikembangkan.
Sumbangan matematis berhasil
diberikan oleh Tiongkok dan India. Eksperimen berhasil disumbangkan pengikut
Mohis dan Taois di Tiongkok setelah sebelumnya mereka juga menekuni filsafat
ilmu. Hanya saja rekam jejak keduanya tak lama. Timur Tengah berhasil mengembangkan
bidang optik dan kedokteran yang lebih maju ketimbang capaian Yunani.
Gejala utama yang berlaku dalam
perkembangan ilmu kala itu ialah kelindan antara ilmu dengan ranah yang kini
tak masuk wilayah kajian ilmu, misalnya astrologi-astronomi dan perdukunan-kedokteran.
Derap ilmu belum bisa maju saat pembahasan fenomena alam dengan perkara ghaib
masih teraduk.
Perkembangan teknologi kala itu juga
sulit maju lantaran lazimnya cendekiawan merendahkan pekerjaan tangan. Mereka
gemar memisahkan ilmu dan teknologi, kegiatan berpikir dan berkarya dengan
indra. Sikap ini menyebabkan teknologi kurang mendapat masukan ilmiah dan
sebaliknya kemajuan ilmu kurang memanfaatkan teknologi. Sumbatan perkembangan
ilmu banyak disebabkan belum adanya ‘jembatan keledai’ yang mampu mengurangi
jurang terentang antara berbuat dan berpikir serta antara berpikir dan
mengamati.
Walau berbeda masa, gejala yang ada
di Mesopotamia juga muncul dalam peradaban India, Tiongkok, dan Timur Tengah.
‘Perceraian’ antara insinyur dan pengamat dengan pemikir serta kelindan hal-hal
ghaib dengan hal-hal yang bisa diamati indera masih ada.
Tiongkok memberikan dua gejala
lainnya: jalan berpikir yang mekanis dan logis disebut perlu untuk memahami
alam semesta secara ilmiah serta kedudukan sosial ilmuwan –didukung atau
ditolak oleh masyarakat– ikut berperan juga.
Perbedaan paling kentara antara era
Mesopotamia dengan India, Tiongkok, dan Timur Tengah ialah ketiga ruang dan
waktu yang disebut terakhir ini lebih berkembang, berbeda dengan Mesopotamia
yang cenderung poco-poco.
Hubungan antar bangsa memiliki peran
penting dalam pengembangan ilmu maupun teknologi. Hubungan ini memberikan
kesempatan pertukaran budaya antar-budaya: India dengan Yunani, Tiongkok dengan
India, Timur Tengah dengan Tiongkok, hingga Eropa dengan Timur Tengah.
Tanpa adanya hubungan tersebut, sulit
bisa dibayangkan bagaimana ilmu dan teknologi bisa dikembangkan. Untuk bisa
berkembang, bisa juga melalui serentetan pertikaian, tak melulu kemesraan.
Begitu.
B.Sb.Wg.291249.37.011016.16:13