Mike Shinoda


because learn is do
 
Queen; Brian May; Farrokh Bulsara; Madonna; DEWA19; Linkin Park; 2NE1; Ahmad Dhani; Andra Ramadhan; Mike Shinoda; Britney Spears; Park Bom; CL; Musik; antique; divine; incredible; beyond; insan; basyar; naas; rabbi; rububiyyah; ilah; uluhiyyah; al-du’a; silah; al-mukmin; du’a; doa; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; RM Adhila; Mazdik; Break Hard; Alobatnic; The Battle-Mate; Alobatnic and The Battle-Mate; Pelantan;
Mike Shinoda dan Anna Hillinger
Sejak belia Mike sudah menggilai musik, terutama musik-musik berwarna rock dan hip-hop. Dia banyak menyimak unjuk rasa karya Boogie Down Productions, Public Enemy, N.W.A, dan Juice Crew. Karya Nine Inch Nails, Deftones, The Roots, dan  Aphex Twin pun tak ketinggalan dilahapknya. Kegandrungannya pada musik diperkaya dengan menikmati karya dari brand lain, mulai dari Led Zeppelin, Run DMC, The Beatles, Rage Against The Machine, Purity Ring, Arctic Monkeys, hingga Santigold.

Kegemaran ini didukung sang ibu, sosok terdekat Mike. Sang ibu terus mendorong putranya untuk menekuni musik. Saat usianya baru enam tahun, sang ibupun memberikan dukungan teknis pada putranya ini dengan mengikutkannya pada program belajar piano. Merasa sudah bisa menguasai piano, Mike melangkah ke ranah berikutnya dengan ikutserta mengasah kemampuannya untuk bermain jazz, blues, dan hip-hop. Ketekunan dilanjutkan dengan memperkaya dan mewarnai dirinya melalui belajar gitar dan vokal bergaya rap.

Kemampuan tersebut menunjangnya dalam mewjudkan impian membentuk grup band dengan Brad Delson dan Rob Bourdon. Melalui serentetan perjuangan mengharukan dalam ikatan persahabatan cinta yang tulus, impian tersebut akhirnya terwujud dalam rentang waktu setengah windu. Mike berhasil memimpin dan mengelola grup yang mulanya bernama Xero itu menggelinjang dengan nama Linkin Park.

Bersama Linkin Park, Mike berhasil melampiaskan sebagian hasratnya tanpa pernah merisak liyan alih-alih membikin tenggelam. Dia bisa melakoni perannya sebagai keboardist dengan bagus. Peran ini diperkaya dengan kelihaiannya memadu permainan guitar bersama Brad Delson dan kepiawainnya urun suara dengan Chester. Dua peran tambahan tak membikin dua nama tersebut merasa dikalahkan.

Keberhasilan memimpin dan mengelola Linkin Park sedari dini dimulai hingga sanggup menghentak ke tengah khalayak membikin label rekaman yang menaungi, Warner Music Group, memberi kesempatan pada Mike untuk mengelola label sendiri di bawah naungan mereka. Kesempatan istimewa ini tak disia-siakan oleh sang pemimpi dan pemimpin keren ini.

Tanpa diduga oleh Warner Music Group, Mike dan Delson nyatanya sudah memiliki rancangan pembentukan label rekaman. Obrolan mereka di rumah Mike menghasilkan sebuah rancangan label rekaman yang dinamai The Shinoda Imprint. The Shinoda Imprint dibentuk pada masa-masa mereka mengemas CD album mini Hybrid Theory untuk dibagikan secara gratis pada assabiquna al-awwaluna Underground.

Dua tahun kemudian, pada 2001, The Shinoda Imprint pun berganti nama menjadi Machine Shop Records. Mike mengajakserta sahabat intimnya, Delson, untuk membangun label ini. Sembari terus berkarya bersama menerbangkan Linkin Park, mereka pun berkomitmen membangun Machine Shop Records. Mike dan Delson memulai hal ini dengan ungkapan bersama sebagai sapaan pada-Nya, “We are a think tank and a creative studio.”

Sayang, pihak Warner belum memberikan ijin pada Mike untuk mengelola seluruh album Linkin Park melalui label yang dikelola olehnya dan sahabatnya yang notabene sesama pungga Linkin Park ini. Mike pun belakangan menyadari bahwa mengelola sebuah album adalah hal yang sulit. Meski demikian, beberapa album Linkin Park sebagai persembahan untuk para penggemar dirilis melalui Machine Shop Records.

Tak mau terpaku pada satu grup saja, Mike berupaya mengasah kemampuan lainnya melalui Machine Shop Records. Label tersebut menaungi musikus yang ingin mentas di industri hiburan dengan, terutama yang membawa warna rock atau hip hop. Beberapa nama yang cukup terkenal dimunculkan dari sini, antara lain Holly Brook (kini dikenal sebagai Skylar Grey), Styles of Beyond, No Warning, serta Fort Minor.

Fort Minor merupakan grup yang dibentuk olehnya atas kecintaannya pada Linkin Park dan hasrat kuatnya pada hip-hop. Mike tak mau Linkin Park yang sudah lekat dengan warna rock tiba-tiba melakukan perubahan radikal dengan mengutamakan warna hip hop. Linkin Park dengan warna utama rock memang diwarnai olehnya dengan hip-hop. Namun dia belum puas saat hasrat berkarya dengan warna hip-hop belum bisa dilampiaskan secara lepas.

Karena dia sayang dengan grup yang dibentuk dengan nama Xero itu, Mike pun tak hendak mencederai warna grupnya dengan menyempatkan menghasilkan karya yang memuaskan hasratnya, hip-hop sepenuhnya. Sebagai jalannya, Mike memilih membentuk grup baru, dengan warna baru, yang saling berpadu tanpa harus beradu dengan mengajak tiga punggawa Styles of Beyond ikut serta: Ryan Patrick Maginn (Ryu) dan Takbir Bashir (Tak).

Nama pada grup yang dibentuk pada 2004 ini diberikan sendiri oleh Mike. ‘Fort’ dimaknainya sebagai sisi agresif dalam musik sementara ‘Minor’ dimaksudkan sebagai sisi gelapnya. Mive memilih nama yang jauh dari personalitasnya lantaran dia ingin khalayak menerima karyanya karena kualitas karya, bukan karya dirinya sendiri yang sudah ‘menjual’ saat itu.

Fort Minor tak terlampau lama menggelinjang. Malah terkesan sebagai cara Mike mengisi waktu luang. Fort Minor banyak unjuk penampilan saat jeda perilisan Meteora dan Minutes to Midnight dari Linkin Park. Hanya saja semenjak 2015, saat warna hip hop mulai menguasai industri musik, Mike menghidupkan lagi grup keduanya ini. Dia menyapa khalayak melalui lagu tunggal, Welcome.

Naluri seni Mike tak hanya diwujudkan melalui seni musik saja. Naluri seni rupa yang didukung dengan pengalaman di perguruan tinggi pun ditekuninya. Melalui kepiawaiannya menggubah karya seni rupa, dia berhasil menahbiskan namanya sebagai seniman terpandang. Sebagian karyanya bahkan sudah terpampang di Japanese American National Musem (全米日系人博物館).

Japanese American National Museum merupakan sebuah musem yang dibangun untuk mewadahi dan melestarikan warisan sejarah dan budaya warga USA keturunan Jepang. Musem ini berlokasi di Little Tokyo, tak jauh dari pusat kota Los Angeles, California. Mike sendiri merupakan generasi ketiga dari warga yang disebut Japanese American ini.

Sementara melalui seni musik dia berhasil menapaki industri seni, melalui seni rupa dia berhasil mendapat beberapa semat, antara lain: Japanese American National Museum's Award of Excellence (2006), Doctorate of Humane Letters (L.H.D.) dari Art Center College of Design (2009), dan Visionary Award (2010) dari East West Players. East West Players adalah sebuah organisasi yang dibangun sebagai wadah warga USA berdarah Asia.

Melalui artikel berjudul Music for Relief: ‘Let’s power the world’ yang terbit di The Big Issue pada 10 September 2012, Mike memberikan pandangan pribadi terhadap dunia politik. Sepanjang masa-masa pemilu USA tahun 2012, dia memang banyak mengisi kesehariannya dengan menjadi jurnalis untuk media massa tersebut. Hanya saja Mike lebih akrab dengan seni ketimbang politik. Dia sepertinya belum menemukan titik temu jitu politik dan artistik.

Kelindan seni semakin terwarnai melalui kehadiran Anna Hillinger. Keduanya melakoni revolusi cinta 2003 silam, tahun gemilang bagi Mike dan Linkin Park. Anna memiliki kegemaran membaca sejak kecil bahkan bisa larut dalam bacaan meski sedang duduk di atas sebuah pohon. Kebiasaan membaca menyuntikkan hasrat untuk bisa menghasilkan sendiri bahan bacaan.

Anna segera menemukan jalannya ketika dia kelas empat sekolah dasar. Saat itu dia berhasil menerbitkan karyanya melalui keikutsertaannya dengan program Young Authors. Puan kelahiran Los Angeles, 07 November 1977, pun kian semangat mengasah hasrat. Hasrat semakin menggeliat ketika Anna memasuki sekolah menengah dengan menjadi penyunting koran sekolahnya. Pengalaman ini mengasah ketelitian dan wawasannya terutama dalam menulis, yang kemudian memberikan kesempatan padanya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

Anna yang lahir dari keluarga menengah berhasil mendapat anugerah beasiswa saat menjadi pelajar progam studi Communication Studies di Long Beach State. Selepas lulus dari perguruan tinggi, Anna bekerja sebagai public relations selama beberapa tahun sembari berkarya yang banyak ditujukan pada anak-anak dan remaja. Ketekunan ini membawanya ikutserta sebagai anggota Society of Children’s Books Writers and Illustrators (SCBWI), lembaga yang dibangun untuk dipersembahkan pada anak-anak.

Anna tak banyak tampil dalam ranah hiburan seperti suaminya. Dia tampak sudah merasa bersyukur menjalani kesehariannya sebagai ibu rumah tangga sembari mengisi waktu luangnya untuk menulis dan ikutserta dalam beberapa kegiatan non-profit. Hasrat menulisnya yang lama bergelora pun tak serta merta membuat karyanya melimpah ruah seperti sang suami. Hingga kini, baru sebuah novel berjudul Learning Not To Drown yang berhasil dirilisnya pada 01 April 2014.

Sembari sama-sama melampiaskan hasratnya sendiri, Mike dan Anna berpadu bersama mewujudkan harmoni dalam keluarga dan rumah tangga yang dibangun mereka. Buah perjumpaan di sebuah pantai pada satu senja yang tak sia-sia.

B.Sn.Wg.231249.37.250916.22:10