— melantan dalam ikatan azam bersama evil-super-deluxe-bitch
Karier Zlatan Ibrahimović dalam
sepak bola datar-datar saja. Tak terlampau istimewa melihat capaiannya. Dia
selalu berhasil sejak di Malmö, Ajax, Juventus, Internazionale, Barcelona,
Milan, PSG, dan kini di Manchester. Dia tak mengalami masa ketika karirnya
harus tenggelam karam dalam kelam, seperti Andry Shevchenko ketika pindah ke
Chelsea. Ibra memang kerap pindah lantaran tak pernah betah bertahan hingga
lima musim di setiap klub yang dibelanya.
Kepindahan Ibra selalu membawa dua
sisi yang berpadu, manunggaling
musibah-berkah : terdapat ‘garansi’ bahwa Ibra tak akan memperoleh gelar
juara kontinental namun ada ‘garansi’ gelar juara domestik dipersembahkan. Kesanggupan
beradaptasi dengan klub barunya dalam waktu cepat mengagumkan. Dia sering
pindah dan setiap kepindahan selalu butuh penyesuaian yang kadang lebih berat
ketimbang penyesuaian antar musim di satu klub yang sama.
Selain rajin pindah, Ibra juga rajin
membikin panas kuping liyan dengan
pernyataan jujur yang kerap dianggap arogan. Arsene Wenger, menjadi pelatih
pertama yang dibikin panas kupingnya dengan pernyataan blak-blakan Ibra.
Mulanya Wenger ingin njajal kemampuan Ibra dan mengundangnya untuk diaudisi.
Namun Ibra enggan menerima undangan. Dia bilang bahwa Ibra bukan untuk dicoba.
Josep Guardiola menjadi pelatih berikutnya yang dipanasinya. Pelatih pujaa
orang yang lahir hatinya ketinggalan dalam kandungan ini oleh Ibra dibilang
kacangan. Memang kenyataannya demikian, Ibra tidaklah salah.
Hanya Jose Mourinho dan Fabio
Capello pelatih yang sanggup meluluhkan hati Ibra dan mendapat sebutan pelatih
terbaik-terbaik yang pernah menanganinya. Saat Mourinho datang sebagai pelatih
baru Internazionale Milan, The Special
One segera menjumpai Helena Seger, istri Ibra, dan berpesan agar melantan
kenyamanan sukma suaminya. Hal sederhana ini menjadikan Ibra sangat terkesan
dengan sosok yang oleh sebagian kalangan sama-sama dianggap arogan seperti
dirinya. Sebuah cara menyentuh untuk membikin laki mbeling ini luluh.
Bekal pengetahuan yang didapatkan
Mourinho dari perguruan tinggi dan kursus kepelatihan membuatnya berusaha untuk
memadukan teori kepelatihan dengan teori motivasi dan psikologi. Menghubungi
istri Ibra adalah satu perwujudan usaha dari Mourinho ini, yang memang memberi
dampak besar. Ibra dan Mourinho merupakan sama-sama orang yang kariernya banyak
didukung oleh peran istri. Tak sekedar peran psikis bahkan kadang juga peran
teknis.
Helena Seger, istri Ibra, adalah
salah satu orang yang melihat kentara perubahan drastis Ibra saat sang suami
berseragam Barcelona. Sang istri merasakan lara mendera sukma Ibra. Rasa tak
nyaman yang mengubah Ibra yang mulanya blak-blakan menjadi sosok yang pendiam
dan cenderung mengungkapkan yang diinginkan orang lain untuk mereka dengarkan.
Menyadari hal ini, sang istri datang menjadi kirana dalam temaram. Pengalaman
sebelumnya saat Mourinho rela menjumpainya adalah penguat bahwa kehadiran
Helena penting bagi Ibra. Dengan ragam macam cara, Ibra dihibur olehnya saat
semangat mulai mengendur seperti menghabiskan waktu dengan bercengkerama
bersama keluarga.
Kebersamaan
Zlatan dan Helena dalam bingkai keluarga dan rumah tangga yang mereka bina
tampak mesra. Jauh dari angan jika menengok kembali perjumpaan perdana mereka.
Perjumpaan perdana mereka bukanlah pertemuan dua hati dalam suasana romantis
walakin satu pertemuan panas yang sempat menimbulkan pertikaian. Zlatan saat
itu berusia 21 tahun sementara Helena berumur 32 tahun.
Laki yang
baru setahun melewati usia kepala dua ini dengan sikap arogan melintangkan
mobilnya menghalangi laju mobil Helena. Melalui Ferrari yang dikemudi, Zlatan
memberikan tatapan mata dengan rasa amarah pada Helena yang mengendarai
Mercedes. Helena yang sedang bad mood
segera terpantik emosinya hingga sempat terjadi pertikaian antar keduanya.
Pertikaian yang memberi benih-benih kasih sayang sepanjang zaman bagi keduanya.
Memula
perjumpaan dengan pertikaian, belakangan Zlatan justru kesengsem dengan Helena. Zlatan terus berusaha menaklukan puan yang
dianggapnya tinggi hati ini. Arogan kejar-kejaran dengan arogan untuk membangun
kerajaan arogan, sejenis demikian barangkali. Barangkali juga karena memula
dengan pertikaian, perjuangan Zlatan tak selurus tendangan cannon ball-nya.
Helena saat
itu memang sedang sibuk mencari pekerjaan tambahan. Hasrat menjadi seorang
wiraswasta menggeliat kuat dalam benaknya. Hingga waktu luang saat dia libur
dari pekerjaan sebagai manajer di akhir pekan dipakainya untuk bekerja di restoran
alih-alih istirahat penuh seharian. Sebagai laki, Zlatan juga sebenarnya bukan
pangeran idaman Helena. Terlebih lagi Helena tak memiliki pikiran untuk menjadi
kekasih pesepak bola, apalagi yang 11 tahun lebih muda darinya.
Lebih dari
itu, Helena tampak sudah tak berhasrat hidup berpasangan menyemai keluarga dan
rumah tangga. Dia tumbuh sebagai puan mandiri yang tangguh dan lebih senang
merinstis karier sebagai seorang businesswoman.
Banyak perusahaaan di banyak kota sudah diberi sentuhannya: mulai dari Oslo,
Copenhagen, Amsterdam, Malmö, Stockholm, Göteborg, dan Torino. Seakan wajar
jika Helena merasa tak membutuhkan kehadiran Zlatan sebagai suaminya.
Tahu bahwa
Helena tak butuh pendamping asmara, Zlatan justru tertantang menaklukannya.
Zlatan mengalami masa kecil dalam lingkungan keras dan ganas. Dia mesti rela
keinginannya bersama ibu dan bapak bisa terwujud dalam ruang dan waktu berbeda.
Hal ini banyak memengaruhi Zlatan bahwa lubang kasih sayang antar pasangan
harus terisi tanpa boleh dibiarkan hilang. Hal ini pula yang membuatnya
memiliki gairah tak biasa dalam mengejar Helena.
Zlatan
menyanjung Helena dengan semat evil-super-deluxe-bitch.
Semat tak mengenakkan yang sebenarnya pujian untuk Helena sebagai sosok
mandiri, percaya diri, dan tega berkata tidak meski tahu diri digilai seorang
laki. Zlatan, sang arogan, pun akhirnya diterima oleh Helena atas dasar belas
kasih ... kasih sayang. Keduanya mulai mengenang pertikaian dalam
perjumpaan perdana dengan gembira saat mulai menjalani masa-masa berdua
bersama. Hingga buah hati menyerta mereka: Maximilian (lahir 22 September 2006)
dan Vincent (lahir 06 Maret 2008).
Kasih sayang
Zlatan dan Helena mengubah mereka berdua. Zlatan mulai lebih tenang dan nyaman
dalam meniti karier sementara Helena menyesuaikan suami dengan mengurangi
proyek bisnisnya. Wajar saja, karier Zlatan yang nomaden memaksa Helena ikut
pindah jika tak ingin jauh berpisah. Kasih sayang yang terus berpadu membuat
keduanya melakoni persemaian keluarga dan rumah tangga yang datar-datar saja.
Zlatan bisa
menjadi kepala keluarga yang patut dianut, suami yang bagus untuk Helena, serta
bapak yang keren untuk Maximilian dan Vincent. Demikian halnya dengan Helena,
yang bisa memerankan diri sebagai kepala rumah tangga sekaligus istri yang
bagus dan ibu yang menakjubkan. Segala risakan yang datang meriak sanggup
dihadapi bersama hingga kebersamaan mereka tak terhentak.
B.Sl.Kl.241249.37.260916.20:38