— pergi demi menjadi diri sendiri
Karier
Ibrahimovic di Barcelona kerap dianggap gagal. Anggapan seakan selaras keadaan
ini nyaris tak terbantahkan. Hanya saja, tak bisa dibenarkan begitu saja. Bahwa
dia hanya sanggup bertahan satu musim di klub Catalan adalah benar adanya.
Namun capaiannya masih bagus, masih konsisten dengan capaian sebelum dan
setelahnya. Ibra dengan berani meninggalkan klub sekelas Barca untuk pindah
dengan status pemain pinjaman ke Milan. dia kembali ke Italia dengan status
yang lazimnya tersemat ‘buangan’ ke klub yang menjadi seteru abadi dua klub
pendahulunya.
Ketika
Ibra pindah ke Barca, gemuruh media massa mengirinya saat itu. Itu adalah kali
ketiga dia pindah antar klub antar negara. Gemuruhnya kali ini kepindahannya
diiringi dengan rekor transfer termahal untuk Barcelona dan kedua secara
keseluruhan hingga saat itu. dia datang ke klub yang sedang berada di puncak
masa jaya dengan sambutan penggemar yang hampir memenuhi seisi stadion Camp
Nou. Keluarganya yang turut diboyong ke Barcelona juga tak menghadapi masalah.
Dia dan keluarganya membeli rumah yang nyaman di Esplugues de Llobregat.
Sayang
sekali segala riuh gemuruh khalayak tersebut luluh lantak seketika saja di hari
pertamanya ikut serta latihan. Gara-gara Guardiola buru-buru mengungkapkan
prasangkanya bahwa Ibra adalah orang yang tak down to earth, batin Ibra
langsung merasa dirisak. Dia seketika langsung merindukan kembali bersua dengan
Mourinho. Saat Mourinho datang sebagai pelatih baru Internazionale Milan, dia langsung
menemui Helena Seger, istri Ibra, dan berpesan agar merawat kenyamanan mental
suaminya. Hal sederhana ini menjadikan Ibra sangat terkesan dengan sosok yang
oleh sebagian kalangan sama-sama dianggap arogan seperti dirinya.
Semakin
hari Ibra semakin merasa tak nyaman berada di tengah kerumuman berlabel FC
Barcelona. Dia tak nyaman dengan sikap Guardiola yang sangat otoriter dan kaku
dalam menangani pemain. Guardiola adalah pelatih yang semua instruksinya harus
diikuti dengan patuh tanpa boleh membantah. Gaya semacam ini sangat cocok
dipakai untuk pemain yang etika lahir hatinya ketinggalan dalam kandungan. Juga
cocok untuk pelatih yang tak memahami bahwa manusia memiliki hati. Jauh berbeda
dengan Mourinho yang membebaskan pemaiannya mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Keberadaan
Maxwell cukup memberikan penawar bagi Ibra. Maxwell adalah kawan Ibra sejak di
Ajax dan berjumpa kembali di Internazionale. Sementara pemain lain tampak tak
bisa menerima kehadiran Ibra. Tidak Messi, Iniesta, tidak juga Xavi. Mereka
semua dididik dengan kepatuhan ketat sementara Ibra adalah seorang yang
berkarakter ‘semaunya sendiri’. Walau demikian, Ibra berupaya untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan. Dia menerima saja jati dirinya hilang demi
larut bersama Barcelona. Ibra rela menjadi laki yang penurut.
Sayang
sekali perubahan tak kentara bagi khalayak ini, lantaran penampilannya di
lapangan tak jauh berbeda dengan sebelumnya, sangat terlihat jelas oleh
keluarga dan sahabatnya. Saat Ibra berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan
raksasa Catalan, orang-orang dekatnya justru merasa risih. Maxwell tak lagi
melihat Ibra yang menyegarkan suasana latihan dan kamar ganti dengan
keusilannya. Mino Raiola, sahabat sekaligus agennya, melihat Ibra tak lagi mengungkapkan
apa yang ingin dia ungkapkan namun mengungkapkan apa yang diinginkan orang
untuk mereka dengarkan darinya. Istirnya melihat suaminya mendadak menjadi
pendiam, tertekan, tak nyaman.
Ibra
memang tak suka dipaksa patuh pada kesewenangan. Selain itu, usaha yang
dilakukannya tak mendapat apresiasi. Ibra adalah orang yang tekun menyimak
segala bentuk kritik hingga apresiasi. Walau tak seluruhnya dia tanggapi dengan
berungkap lisan, walakin semuanya menjadi bahan untuk diolahnya agar kian
berkembang. Dia tak masalah mencapatkan cacian seperti halnya dia tak melayang
saat mendapat pujian. Hanya saja ketika cacian dan pujian diberikan tidak tepat
pada tempatnya, dia tak bisa menerima.
Ketaknyamanannya
ini sempat membuatnya ingin berhenti dari dunia sepak bola. Walau demikian tak
terbesit niat sedikitpun untuk memutus kontrak. Dia sosok yang profesional.
Ketaknyamanannya ini dia luapkan ketika libur Natal. Saat dia tak lagi
mendapatkan kebahagiaan di sepak bola, dia memilih mencarinya di luar dunia
utamanya. Menikmati liburan Natal ke pegunungan, membekukan luka menganga
sekaligus menikmati waktu untuknya sendiri.
Sebuah
‘pelarian’ yang membuatnya merasa sedikit lebih nyaman. Sedikit rasa nyaman
yang kemudian membuatnya untuk menjadi Zlatan Ibrahimovic, bukan lagi menjadi
Ibra penyerang yang bermain di Barcelona. Saat-saat seperti ini, Helena hadir
menjadi pelita di tengah kegelapan. Orang terdekat dalam hidup Ibra tersebut
semakin yakin bahwa kehadirannya dalam hidup Ibra sangat memiliki dampak sangat
penting sesudah Mourinho repot-repot segera menjumpainya.
“Kamu
sudah menjadi seorang ayah yang lebih baik. Saat kamu merasa tak punya tim yang
membuat kamu nyaman, kamu masih punya kami,” ungkap Helena berusaha menghibur
suaminya. Di pekan-pekan terakhir di Barcelona, Ibra terus-terusan menghabiskan
waktu bersama keluarga. Dia lebih sering bersantai bercengkerama dengan istri
dan anak-anaknya di kebun yang mereka punya.
Masa-masa
bersama keluarga selalu terasa indah baginya. Sayang rasa indah mendadak sirna
sesudah menjumpai Guardiola. Setiap Ibra berjumpa Guardiola, rasa marah dari
bagian gelap dirinya menyetuk kepalanya. Guardiola lah satu-satunya masalah
yang membikin Ibra tak betah. Ketika Ibra sudah semakin menyadari bahwa nuansa
lingkungan di FC Barcelona tak lagi bisa menerimanya, dia yakin untuk pergi.
Pergi agar tak lagi bekerja sama bersama Guardiola. Pergi untuk bisa kembali
menjadi dirinya sendiri di dalam dan luar lapangan pertandingan.
B.Sl.Kl.241249.37.260916.20:39