— pulang lalu berpulang
Balapan Penutup Gelinjangan Daijiro |
Sebagian peristiwa yang terus diingat
dalam pentas MotoGP selalu mendapat momentum untuk mengingat. Mengingat sebuah
peristiwa kelam dalam ajang penuh uang. Mengingat perginya sang legenda yang,
walau tak pernah meraih mahkota di kelas tertinggi, namanya selalu terkenang.
Mengingat bahwa dalam satu kejuaraan yang tampak sempurna masih terdapat celah
celanya.
Daijiro Kato [加藤
大治郎],
pembalap yang menggunakan nomor 74 ini, berpindah dimensi alam 2004 silam. Penghembusan
nafas terakhir Daijiro di rumah meninggalkan kisah dan hikmah. Dia merupakan
salah satu pebalap asal Jepang, pebalap Jepang terbaik di MotoGP sejauh ini.
Bicara mengenai Jepang, Daijiro, dan MotoGP, kita bisa teringat dengan kenangan
pedih masa lalu. Sirkuit Suzuka Jepang menjadi saksi bisu peristiwa tragis,
sejarah kelam dalam arena Moto GP dan dunia olah raga pada umumnya.
Tak ada yang kebetulan dalam setiap
peristiwa yang terjadi. Semua peristiwa sudah ditatakan oleh Yang Maha Lebih
Menata. Selalu ada pesan dalam setiap peristiwa. Dalam peristiwa Suzuka 2004
itu sendiri, tampak bahwa penyelenggara MotoGP terlalu berlebihan. Begitu ada
pebalap yang tewas saat balapan, dampaknya dirasakan orang lain, di mana pun
mereka berada. Tak jadi soal siapa mereka, terutama para pebalap yang bertarung
di arena yang sama.
Mereka kehilangan orang yang memiliki
semangat yang sama, yang juga memiliki ikatan emosional begitu melihat motor,
yang menanggung beban bersama, yang sama-sama menanggung risiko, yang memiliki
gaga hidup yang sama. Para pebalap tentu menyadari risiko pekerjaan mereka,
namun tak terlalu mereka pikirkan. Lagipula tak ada yang mau memikirkan hal
itu. Tak ada yang mau memikirkan risiko pekerjaan ketika pekerjaan dirasa
menjadi satu-satunya pilihan bertahan dalam keseharian.
Daijiro tewas terbentur dinding
pembatas dinding yang rendah, yang tak semestinya ada di sana. Cukup jauh dari
trek balapan dan sebenarnya cukup terlindung. Karena tempat Daijiro keluar dari
trek tak memiliki ruang kosong yang memadai, apalagi kalau ada serangkaian
dinding pembatas rendah yang siap menunggu benturan. Andaikan sirkuit tersebut
memiliki ruang yang cukup di luar trek, pasti jadi lain ceritanya. Akibatnya
pasti tak separah yang terjadi.
Di luar nasib dan di luar nalar,
sungguh ironis kalau di zaman modern ini sampai ada pebalap yang tewas akibat
menabrak dinding. Hal itu tak ada hubungannya dengan apa yang dipikirkan sang
pebalap atau apa yang sedang dipikirkan Daijiro. Karena kejadian semacam itu
bisa menimpa siapa saja, di mana pun dan kapan pun. Khususnya dalam trek
berbahaya seperti di Suzuka.
Banyak yang sudah mengatakan hal itu
dulu, sebelum terjadi peristiwa kelabu itu. Suzuka belum memiliki prasyarat
yang memadai untuk balapan motor. Suzuka adalah trek yang sungguh hebat untuk
dilihat dan sarat emosi ketika dinikmati. Namun, sangat berbahaya dan merupakan
satu kesalahan besar kalau menempatkannya kembali dalam kalender balapan hanya
karena sejarahnya yang hebat.
Sebelum tragedi yang menimpa Daijiro,
para pebalap belum terorganisasi. Mereka belum dianggap penting, semua
keputusan dibuat tanpa masukan dari pebalap. Itu sebelum para pebalap
mendirikan Komisi Keselamatan. Sebelum terbentuknya badan itu, pendapat para
pebalap tak didengar. Sesudah peristiwa ganas itu terjadi, para pebalap
membentuk Komisi Keselamatan atas dasar tragedi yang menimpa Daijiro. Dan
sekarang mereka punya suara.
Para pebalap memilih perwakilannya
untuk menyuarakan aspirasi mereka. Kalau menyangkut soal keamanan, pendapat
para pebalap menjadi prioritas pertama dalam keputusannya nanti. Karena hanya mereka
yang tahu situasi-situasi tertentu, merekalah yang tahu betul setiap trek,
luar-dalamnya. Mereka bisa melihat hal-hal yang tak diperhatikan oleh panitia
penyelenggara. Kalau ingin tahu seberapa berbahayanya dinding pembatas trek,
dekati saja salah satunya di MotoGP pada kecepatan 250 km/jam. Baru setelah itu
bisa dimengerti.
Sejak mulainya MotoGP, masalahnya
bukan hanya soal kecepatan, namun akselerasi. Totalitas tenaga pada motor,
dikombinasikan dengan ketepatan perangkat elektronik yang ada, telah mengubah
reaksi soal waktu dalam pikiran pebalap juga motor itu sendiri. Sebelumnya,
manusia di Dorna, tak ada yang tahu soal ini. Karena mereka tak pernah naik
motor sebesar itu dalam trek yang dipakai pebalap. Sekalipun mereka naik motor
itu, mereka pasti tak mampu mencapai kecepatan yang tempuh pada pebalap.
Warisan penting dari tragedi yang
menimpa Daijiro adalah munculnya kebersamaan para pebalap. Memberi mereka rasa
persatuan. Para pebalap bisa duduk berdampingan dengan Dorna beserta para
pendirinya, dan pihak Dorna mesti memerhatikan pendapat pebalap. Tahun 2002,
saat awal era MotoGP. Ada perubahan besar dibanding era 500cc.
Semuanya menjadi serba berbasis
teknologi modern. Juga lebih antusias, mungkin akibat adanya pandangan baru,
kesempatan baru. Motor 500cc telah mencapai potensi maksimumnya.
Perkembangannya stabil dari tahun ke tahun tanpa perubahan mendasar. Namun,
dengan hadirnya tim-tim MotoGP dan para pendirinya mulai berinvestasi
besar-besaran pada motor, teknologi baru membawa lebih banyak tantangan dan
kesempatan. Juga banyak biaya.
Lalu menjadi lingkaran setan. Lebih banyak
uji coba, lebih banyak investasinya, motor yang lebih cepat, kinerja yang lebih
baik. Serba lebih besar, lebih baik, lebih cepat, dan banyak lagi. Itulah mengapa
kecelakaan yang menimpa Daijiro menjadi hal yang sangat penting untuk
direnungkan.
Hari itu di Suzuka, para pebalap tak
tahu apa-apa soal itu. Mereka melihat bendera kuning, hanya itu. Panitia
membersihkan treknya lalu pebalap melanjutkan balapan. Grand Prix mestinya
dihentikan. Tak perlu ada pertanyaan dan alasan soal itu. Namun, panitia tak
berhenti, dan itu adalah kesalahan yang amat besar. Para pebalap mengajukan
protes, mereka menjadi marah. Sejauh yang pebalap tahu, balapan berlanjut
dengan satu alasan, satu alasan saja: hak tayang televisi, yang terlanjur
dijual dan dibeli hak siar lewat satelitnya.
Bagi Daijiro, berhenti tak akan
mengubah apa-apa. Benturan fatal yang menimpanya begitu keras sehingga ia
langsung tewas di tempat, di trek balapan. Mereka berusaha menyadarkan dan
berhasil mengembalikan detak jantungnya, namun tulang belakang dan otaknya
rusak parah. Beberapa hari kemudian, jantungnya benar-benar berhenti.
Segera setelah membentuk Komisi
Keselamatan, salah satu tuntutan pebalap adalah mengubah peraturan yang
berhubungan dengan pembatalan uji coba atau balapan. Sejak saat itu, uji coba
atau balapan akan dihentikan kalau ada kecelakaan yang menuntut campur tangan
dokter langsung saat di trek, atau kalau ada pebalap yang pingsan setelah
kecelakaan, atau kalau menurut dokter pembalap itu terluka parah.
Dalam peristiwa Daijiro, setelah
balapan selesai, para pebalap merasa ada sesuatu yang tak beres. Kalaupun ada
yang tahu, tak seorang pun yang mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Paco, kepala bagian urusan pers Dorna hanya mengatakan, “Daijiro terjatuh,
dibawa oleh helikopter.” Hanya itu. Kata-kata itu bisa berarti apa saja, atau
bukan apa-apa.
Mendengar ungkapan seperti itu, tentu
tak akan ada yang membayangkan hal terburuk. Karena itu perayaan setelah
balapan di podium tak terasa dalam suasana duka. Malah bagi Rossi terasa sangat
bahagia pasalnya ia di urutan pertama, Biaggi kedua, Capirossi di urutan
ketiga, tiga pebalap Italia berdiri di atas podium. Mungkin Rossi, Biaggi, dan
Capirossi tak gairah lagi merayakan kemenangan itu jika mereka tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Mereka pasti tak akan bisa menikmati pesta kemenangan
dengan wajar.
Setelah mereka turun podium, panitia
baru menceritakan apa yang terjadi. “Ini serius,” kata panitia. Rossi dan para
kolega balapannya makin merasakannya selama acara jumpa pers, namun mereka
hanya tahu setengah-setengah saja kebenaran dan penjelasan yang dikatakan pihak
penyelenggara.
Rossi penasaran dengan apa yang
sebenarnya terjadi. Ia kemudian pergi ke Mobile
Clinic setelah jumpa pers, ingin mencari tahu lebih jauh. Sayangnya Rossi
harus kecewa. Marco Montanari, ahli fisioterapi Rossi, dan dokter Costa,
dokternya Rossi, tak memberikan keterangan jelas mengenai kondisi Daijiro Daijiro.
“Dia terluka parah, namun kita lihat saja...” hanya itu yang mereka katakan.
Hanya itu yang selalu dikatakan semua orang. Para pebalap bahkan memaksa
panitia untuk menceritakannya. Saat itu, Daijiro sedang dalam keadaan koma.
Beberapa pekan setelah balapan naas
itu, tempat kejuaraan balap pindah ke Afrika Selatan dan para pebalap menikmati
liburan akhir pekan di sana. Semua orang punya stiker bernomor 74, nomor Daijiro.
Ada pada bodi motor, baju, helm, dsb dst. Pada akhirnya, posisi Daijiro Daijiro
di MotoGP digantikan oleh pebalap Jepang lain, Ryuichi Kiyonari. Pasca wafatnya
Daijiro, belum ada lagi pebalap asal Jepang yang mampu bersaing di papan atas
kelas teratas MotoGP. Bukan hal baik bagi Jepang, juga Asia.